Daftar Isi
1. Asal Usul Islam
2. Nabi Muhammad
3. Peperangan di Jaman Awal Islam
4. Kalifah Abu Bakr Al-Sidiq
5. Kalifah Umar Ibn Al-Khattab
6. Kalifah Uthman Ibn ‘Affan
7. Nasikh dan Mansukh
8. Sayyid Al-Qimni
9. Ajaran Muhammad tentang Wanita
10. Ajaran Muhammad tentang Nikah
11. Muhammad Sang Poligamis
12. Skandal² Pernikahan Muhammad
13. Muhammad Sang Perampok
Pendahuluan
Sangat jarang ditemukan buku di sekolah² atau perpustakaan umum yang membicarakan sejarah Muhammad. Kebanyakan buku² Islam saat ini hanya membicarakan tentang agama Muhammad, sang pendiri Islam. Di buku ini aku menjelaskan tentang sejarah Muhammad – kehidupannya, peperangannya, dan ajaran²nya. Sumber keterangaku berasal dari “Ibu dari Segala Sumber Literatur Islam,” [1] juga tulisan² para pemikir Mesir Muslim liberal yakni Sayyid Mahamoud Al-Qimmi, dan tulisan² dari beberapa penulis Muslim dan non-Muslim modern. Keterangan “Ibu dari Segala Sumber Literatur Islam” dikenal dalam istilah Arab sebagai “Al-Maskut Anho” yang berarti keterangan yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh Muslim dan kafir.
Sangat sedikit ulama atau ahli Islam dari Universitas Al-Azhar Al-Sharif yang membaca keterangan² ini dan mereka bahkan tidak membicarakannya satu sama yang lain. Akan tetapi, para penulis Muslim Mesir modern seperti Sayyid Mahamoud al-Qimmi, Faraj Foda, dan Nasr Hamid Abu Zayd membahayakan diri mereka sendiri dengan membuka buku² ini dan menyatakan pada umum keterangan tentang Muhammad yang tak pernah mereka dengar sebelumnya. Karena alasan inilah maka Faraj Foda ditembak mati di depan kantornya di Kairo, Nasr Hamid Abu Zayd melarikan diri meninggalkan Mesir untuk menghindari hukuman mati, dan Sayyid Mahmoud al-Qimmi dipaksa mengganti tulisan²nya. Sayangnya, sebelum dunia luar dapat membaca tulisan² mereka, para penulis ini dibungkam melalui pembunuhan, teror, dan ancaman mati, dan tulisan² mereka dilarang diedarkan di dunia Muslim. Selain itu, buku² mereka juga tidak pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggri atau bahasa Barat lainnya.
Dalam buku ini aku mengungkapkan pada para pembaca salah satu sumbangan terpenting dari Dr. Sayyid Mahmoud al-Qimmi. Meskipun telah banyak buku yang ditulis mengenai kehidupan dan ajaran² Nabi Muhammad, bukuku tetap unik karena menyatakan hal² yang belum pernah kau dengar sebelumnya dan kau pun tidak menemukannya di buku² biografi Nabi lainnya. Tidak peduli apapun latar belakang agamamu, buku ini akan mengubah pendanganmu tentang Islam dan kau nantinya akan mengerti permasalahan Islam yang dihadapi dunia saat ini.
Penulis: Dr. A.A. Ahmed
21 Oktober, 2005
Tentang Pengarang
Dr. A. A. Ahmed lahir di Sudan dan meraih gelar Ph.D di bidang Filosofi dari Universitas Bombay, India. Dia punya lima gelar akademis - Sarjana S1 bidang Komunikasi, Master (S2) dan Ph.D (S3) di bidang Filosofi dari India, dan Sarjana S1 dan Sarjana S2 di bidang Penelaahan Filosofi dan Agama dari Canada. Dia adalah peneliti masalah Muslimah dalam dunia Islam, dan telah meninggalkan Islam.
Buku "Kehidupan Rahasia Nabi Muhammad" merupakan bukunya yang kesembilan dan inilah daftar buku² yang diterbitkannya:
1. Intisar: Kisah Muslimah Cilik
2. Insaaf: Kisah Gadis Arab
3. Ikhlas: Kisah Budak Perempuan Cilik Sudan
4. Ibtisam: Kisah Tiga Guru Muslimah
5. Ikram: Kisah Gadis Pelacur
6. Ijilal: Kisah Ibu dan Anak² Perempuannya
7. Inshirah: Kisah Gadis Tertindas
8. Ina'am: Kisah Gadis Tak Berdosa
9. Kehidupan Rahasia Nabi Muhammad
Dr. Ahmed punya pemahaman dan pengalaman menyeluruh akan Islam karena dia melihat sendiri realitas keadaan dan penyebabnya. Gaya tulisannya mendobrak segala perbedaan sosial, agama, dan budaya.
[1] Berikut adalah daftar buku² “Ibu dari Segala Sumber Literatur Islam“:
1- Qur’an.
2- Hadis Sahih Al-Bukhari
3- Hadis Sahih Muslim
4- Hadis Sunan Abu Dawud
5- Hadis Sunan Al-Tirmizi
6- Ibn al-Atheer, 1965. Al-Kamil fi Al-Tarikh. Dar Sadir, Beirut, Lebanon.
7- Al-Asfani. Al-Agani. Dar al-Kotob al-Musria, Cairo, Mesir.
8- Al-Awsi. Ruh al-M’aani, 12/353.
9- Al-Bihaqi, 1988. Dalail al-Nobwa, diedit oleh Abd al-Mu’ati Qaligi, Dar al-Kotob al-‘Alimia, Beirut, Lebanon.
10- Ibn Timiah. Iqitida al-Sirat al-Mustaqim, Dar al-Mu’arifa, Beirut, Lebanon.
11- Tha’alab, 1964. Shireh Diwan Zuhir, Al-Dar al-Qumia liltiba’at wa al-Nashir, Cairo, Mesir.
12- Al-Nisaboori, al-Tha’alabi. Qisas al-Anbia al-Musama ‘Arais al-Mugalis, al-Muktabah al-Thaqafi a, Beirut, Lebanon.
13- Ibn al-Gawzi. Talbos Iblis, diperbaiki oleh Muhammad Manir al-Dimishaqi, Al-Mutab’ah al-Munira.
14- Ibn al-Gawzi, Jamal al-Deen, 1985. Nawasikh al-Qur’an, Dar al-Kotob al-‘Alimia, Beirut, Lebanon.
15- Ibn Habib, 1964. Al-Munamaq fi Akhabar Qurish, diedit oleh Khorshid Ahmed Faroq, Daeirat al-Mu’aarif al-Uthmania, Hidar Abad, India.
16- Al-Halabi. Al-Sira al-Halabia fi Sirat al-Amin al-Amoon Insaan al-‘Uioon, Dar al-Mu’arifa, Beirut, Lebanon.
17- Ibn Hanabal, 1978. Kitab al-Zuhud, Dar al-Kotob al-‘Alimiah, Beirut, Lebanon.
18- Ibn Khaldun. Al-Muqadimah, Dar al-Sha’ab, Cairo, Mesir.
19- Ibn al-Khiat, Khalifa, 1967. Al-Tabaqaat, diedit oleh Akaram
al-‘Amari, Mutbaat al-Mu’ani, Bagadad, Iraq.
20- Dalo, Burahan al-Deen, 1985. Musahama fi I’adat Kitabat al-Tarikh al-‘Arabi al-Islami, Al-Farabi, Beirut, Lebanon.
21- Al-Dinoori, 1960. Al-Akhbaar al-Tiwal, diedit oleh Abd Al-Mu’anim ‘Amir, Wazarat al-Thaqafa wa al-Irishad al-Quami, Cairo, Mesir.
22- Al-Zabadi, 1306 H.65 Tag al-‘Aroos, Cairo, Mesir.
23- Ibn Sa’ad. Al-Tabaqaat al-Kubrah, Dar al-Tahiri li al-Tiba’ah lil al-Nishir, Cairo, Mesir.
24- Ibn Sa’ad, 1933. Al-Tabaqaat al-Kabeer, dicetak di London.
25- Al-Sohili, 1978. Al-Rwad al-Anif fi Tafi seer al-Sira al-Nabawia Libni Husham, Dar Al-Mu’arifa, Beirut, Lebanon.
26- Ibn Said al-Nas, 1980. ‘Uyun al-Athar fi Finoon al-Mugazi wa al-Shamail wa al-Sira, diedit oleh lignaat Ihia al-Turath al-‘Arabi, Dar al-Afaq al-Gidida, Beirut, Lebanon.
27- Al-Shahristani, 1961. Al-Milal wa Al-Nahl, dicetak oleh al-Babi al-Halabi, diedit oleh Muhammad Said Kilani, Cairo 961 and al-Mutab’a al-Azharia, Cairo 1951, Mesir.
28- Al-Shibani, 1972. Al-Ikitisaab fi al-Riziq al-Mustatab, disarikan oleh Muhammad Bin Samah, diedit oleh Muhammad ‘Arnoos, Mutabat al-Anwar, Cairo, Mesir.
29- Al-Shiban, 1972. Shireh Kitab al-Siar al-Kabeer, diedit oleh Salahal-Deen al-Mugid, Mu’ahad al-Mukhtootat bi Jamiyat al-Dwal al-‘Arabia, Cairo, Mesir.
30- Al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa al-Mulook, edited by Muhammad Abu al-Fadol, Dar al-Mu’arif, Cairo, Mesir.
31- Al-‘Asaqalani, 1323 H. Al-Isabah fi Tamiz al-Sahabah, Mutab’at al-Sa’adah, Cairo, Mesir.
32- Ibn Qitibah, 1969. Al-Shi’ar wa Al-Shu’arah, Dar al-Thaqafa, Beirut, Lebanon.
33- Ibn Qitibah-, 1986. ‘Aiuoon al-Akhbar, al-Kotob al-‘Almia, Beirut, Lebanon.
34- Al-Qizwani, Ahmed. Fagi’at al-Taf, Mutabat al-Ahram, Kirbila, Iraq.
35- Ibn Kathir, 1988. Al-Bidaiah wa al-Nihiah, Dar al-Kotob al-‘Alimiah, Beirut, Lebanon.
36- Al-Kilabi, 1924. Al-Asnaam, Dar al-Kotob al-Musirish, Cairo, Mesir.
37- Al-Maroodi, 1978. Al-Ahakam al-Sultania wa al-Wiliat al-Diniah, Dar al-Kotob al-‘Alimiah, Beirut, Lebanon.
38- Al-Maqadisi, 1916. Al-Bid wa al-Tarikh, Muktabat al-Muthni, Bagadad, Iraq.
39- Al-Nahas, Abu Ja’afar, 1986. Al-Nasikh wa al-Munsukh fi al-Qur’an al-Kareem, diedit oleh Dr. Sha’aban Muhammad Ism’ail, Muktabat “Alam al-Fikir, Cairo, Mesir.
40- Ibn Hisham, 1974. Al-Sirah al-Nabawia, diedit oleh Taha Abd Al-R’uf and Muhammad Mahi, Shirikat al-Tiba’ah al-Faniah al-Mutahidah, Cairo, Mesir.
41- Al-Hamadani, 1931. Al-Aklil, Bagadad, Iraq.
42- Al-Waqidi, 1966. Kitab al-Mugazi, diedit oleh Marisidan Joniz, Minshurat Jamiyat Iksaford, London.
43- Al-Yaqubi, 1974. Al-Tarikh, al-Muktabah al-Hidiriah, al-Najaf, Iraq. Abu Yusif, 1979. Al-Khiraj, Dar al-Mu’arifa, Beirut, Lebanon.
Kesaksian Murtad Dr. A.A. Ahmed
Aku meninggalkan Islam karena saudara perempuanku. Dia menolak dimadu oleh suaminya. Hal ini membuka mataku lebar². Faktor lain yang membuatku benci Islam adalah penindasan akan wanita dan pembunuhan orang² tak berdosa di Sudan Selatan dalam nama Jihad.
Aku telah menulis sebuah buku yang menunjukkan kekejaman Islam terhadap wanita, Judulnya adalah Intisar: A Story of a Muslim Girl (bisa dibeli di Amazon.com)
Bab I – Asal Usul Islam
Dalam bukunya yang berjudul Al-Hizb Al-Hashmi Wa Tasis Al-Dawla Al-Islamya (Kelompok Hasmit dan Dasar Negara Islam), Sayydi Mahamoud al-Qimmi [3] menelusuri asal-usul agama Islam dari tokoh bernama Abd Al-Mutalab, kakek Nabi Muhammad. “Jika Tuhan ingin mendirikan sebuah negara, maka Dia akan menciptakan orang² seperti ini,” kata Abd Al-Mutalab sambil menunjuk putra²nya (al-Qimmi 1996: 51). Menurut al-Qimmi, gagasan mendirikan negara dan agama Islam berasal dari kakek Nabi Muhammad. Abd Al-Mutalab mengerti bahwa suku² Arab tak mungkin bersatu di bawah satu kerajaan karena tiadanya unsur pemersatu suku² tersebut. Dalam sebuah kerajaan, suku yang berkuasa akan mendominasi suku² lain dan hal ini tentunya tak dapat diterima suku² yang tak berkuasa. Karena itulah, satu²nya cara menyatukan suku² Arab adalah dengan menciptakan Raja-Nabi yang berkuasa atas mereka semua. Kesatuan seperti ini tidak dapat ditolak karena dianggap sebagai perintah Illahi. Tatkala Abd Al-Mutalab mengerti permasalahannya, dia meminjam contoh kisah Raja-Nabi Yahudi yakni Raja Daud dan anaknya yakni Raja Salomo. Setelah itu, dia menciptakan agamanya sendiri yakni Al-Hanafiya [4], yang dia telusuri asalnya dari kakek moyang masyarakat Arab yakni Ibrahim atau Abraham.
[3] Sayyid Mahmoud al-Qimni is a “penulis progresif dan dosen Universitas Cairo di bidang Sosiologi Agama.” Dia memegang gelar akademis Ph.D. dari Universitas Al-Azhar Al-Sharif, Cairo, Mesir.
[4] Al-Hanafiya adalah agama monotheis di jaman pra-Islam. Islam dianggap sebagai lanjutan dari agama itu.
Dalam menyelidiki asal-usul Negara Islam, al-Qimni juga menyelidiki tentang kakek buyut Muhammad, yakni Qusay Ibn Kilab. Di jaman pra-Islam, banyak suku² Arab yang bertikai untuk memiliki kontrol atas kota penting Mekah. Suku Ibn Najjar mengambil alih Mekah dari suku Guraban, dan lalu suku Madar mengalahkan Ibn Najjar dan mengambil alih kekuasaan Mekah. Dari Madar, kontrol kota Mekah diteruskan ke suku dari Yemen yakni Khazah. Dan akhirnya suku Quraish, di bawah pimpinan Qusay Ibn Kilab, menguasai Mekah. Melalui “tipu muslihat, Qusay Ibn Kilab membawa kunci² al-Ka’bah [5] dari Gebshan al-Khousa’I, melalui pertukaran dengan sebotol minuman anggur” (al-Qimni 1996:115). [6] Tatkala dia menguasai kota Mekah dan Ka’bah, Qusay mendirikan Dar Al-Nadwa atau “Rumah Bersama” (ibid: 82, mengutip dari Ibn Kathir, al Bedya wa al-Nihaia, hal. 192). Di bawah kekuasaan Qusay, Mekah jadi negara kecil dan Dar al-Nadwa menjadi tempat demokrasi bagi suku² Baduy Arab. Menurut Ibn Kathir, Qusay menjadi raja dan seluruh suku² Arab tunduk padanya (ibid).
[5] Bangunan keramat kuno di Mekah, yang disebut sebagai Rumah Allâh dalam Islam.
[6] Aku akan mencantumkan sumber yang digunakan oleh al-Qimni.
Bangunan² Ka’bah
Di masa itu, Mekah bukanlah satu²nya kota Arab yang memiliki ka’bah. Terdapat ka’bah di Najran, ka’bah di Shadad al-Aiadi, dan ka’bah di Qatafan (ibid:65). Setiap ka’bah didirikan sebagai rumah bagi tokoh pemimpin besar suku, yang dijuluki sebagai Rabb atau “tuan”, atau rumah bagi batu suci. Batu² gunung berapi dan batu² meteor merupakan benda² yang disembah oleh masyarakat Arab Baduy. Mereka menganggap kedua jenis batu tersebut keramat karena batu berapi datang dari dalam bumi dan batu meteor datang dari dinding² rumah Tuhan di surga. Richard Burton, bintang film terkenal AS, dulu pura² jadi Muslim dan mengunjungi Mekah, sambil mengambil sedikit bagian dari Batu Hitam (Hajar Aswad) dan lalu meneliti jenis batu tersebut. Penelitian membuktikan bahwa Batu Hitam merupakan serpihak dan batu meteor (ibid: 25). Terdapat berbagai versi dongeng² Islamiah tentang asal-usul Batu Hitam. Sebuah dongeng menyatakan bahwa Adam diusir keluar dari surga dan dia membawa Batu Hitam ini dari surga dan turun ke bumi. Batu itu dulu sangat cemerlang dan putih tapi menjadi hitam karena menyedot semua dosa orang² yang menciumnya setiap tahun di ibadah Haji. Dongeng lain mengatakan Batu Hitam ini milik Abraham dan putranya Ishmael. Dikatakan bahwa Abraham dan putranya menggunakan Batu Hitam ini sebagai tangga untuk membangun Ka’bah.
Tahun Gajah
Sebuah kejadian penting terjadi di tahun 569 atau 570 M, yang dikenal oleh masyarakat Arab sebagai Tahun Gajah, yang menambah pentingnya bangunan Ka’bah di Mekkah (ibid: 76, al Suhaili mengutip dari Ibn Hisyam, di bukunya al-Rawd, hal. 77). Pemimpin Ethiopia yang bernama Abraha berusaha untuk menghancurkan Ka’bah, tapi tidak berhasil. Legenda Islam mengatakan bahwa burung² dari surga yang disebut sebagai “Tair al-Aba’abil” menjatuhkan batu² pada tentara² penyerang. Akan tetapi, penulis Ethiopia bernama Abbas Mahmoud al-Agaad yakin bahwa tentara Abraha terserang penyakit cacar (ibid: 76, mengutip dari Al-Agaad, T’awal’ai al-Bi’atha al-Muhammadia, hal. 145-146). Al-Agaad mengambil kesimpulan ini dari catatan² sejarah Byzantium yang ditulis oleh ahli sejarah bernama Procope, yang mengunjungi Mekah di Tahun Gajah. Mundurnya pasukan Abraha membuat masyarakat Mekah yakin bahwa tuhan suku Quraish telah menang berperang bagi mereka.
Ketika Qusay Ibn Kilab meninggal, dia meninggalkan warisan Ka’bah dan pemimpinan Mekah pada putra pertamanya adalah Abd Al-Dar. Akan tetapi, putra keduanya yakni Abd Manaf menginginkan kedudukan abangnya dan mencoba merebut kekuasaan dengan kekerasan. Al-Qimni menganggap penulis² sejarah dan penafsir Islam tidak adil karena berpihak pada Abd Manaf dan bukannya berpihak pada Abd Al-Dar (ibid:89). Putra² Abd Manaf yakni Hasyim, Abd Shams, Abd Mutalab, dan Nawfal, semuanya ingin berperang melawan putra² Abd Al-Dar. Akan tetapi, putra² Abd Al-Dar mengambil keputusan untuk menghormati ayah mereka dengan menghindari pertumpahan darah dan perpecahan sehingga mereka menyerahkan kekuasaan pada saudara² misannya. Al-Qimni menjelaskan perbuatan putra² Abd Manaf sebagai berikut: “Dan kepemimpinan yang diambil alih melalui kekerasan dari rumah Abd Al-Dar, akhirnya jatuh ke tangan Hasyim, putra Abd Manaf.” (ibid: 90, mengutip al-Tabari, al-Tarikh, hal. 123). Tak lama setelah Abd Shams wafat, putranya yakni Umayyah mencoba mengambil alih kekuasaan dari pamannya Hasyim dengan kekerasan. Suku Quraish sekali lagi mencegah peperangan dengan cara meminta keputusan adil dari seorang imam Khazai. Imam ini menetapkan bahwa Umayyah harus diasingkan secara sukarela selama 10 tahun. Cucu Umayyah yang bernama Mu’awiyya nantinya mencoba merebut kekuasaan yang dirampas dari kakek buyutnya, dan dia lalu mendirikan kekalifahan Umayyah dan membunuh habis keturunan Hasyim sampai tiada yang tersisa lagi (ibid).
Keturunan Putra² Qusay Ibn Kilab
…………………….Qusay Ibn Kilab…………………….
Abd al-Dar ……………………………………Abd Manaf
…………………………………..Hashim/ Abd Shams/ Al-Mutalab/ Nawfal
………………………………..Abd al-Mutalab/ ………..Umayyah/
………………………………………………………………………Abu Sufyan Ibn Hareb
………………………………………………………………………Mu’awiyya
………………………………………………………………………(Kekalifaham Umayyah)
Keturunan Putra² Abd al-Mutalab
…………………….Abd al-Mutalab…………………….
Abd al-‘Aizi [8] / Abd Allah/ Talib/ Abbas/ Hamzah
Nabi Muhammad/ ‘Ali (Shi’a)/ (Kekalifahan Abbasid)
[8] Muhammad memberinya nama ejekan Abu Lahab dalam Qur'an, Sura al-Masad (111), ayat 1.
Abd Al-Mutalab
Setelah kematian Hasyim, kepemimpinan Mekah dan Ka’bah diwariskan pada Abd Al-Mutalab (ibid: 98). Tak lama setelah dia menjadi pemimpin, Abd Al-Mutalab mulai “meletakkan fondasi agama baru di mana semua hati harus disatukan bagi satu Tuhan” (ibid: 99). Dia memerintahkan penghapusan berhala². Tuhan tidak akan menerima ibadah seseorang kecuali melalui perbuatan² baiknya. Tuhan yang dimaksudnya adalah Tuhan Ibrahim atau Abraham, bapak segala suku² Arab dan Yahudi. Abd Al-Mutalab mendapat penglihatan ketika dia sedang tidur di halaman Ka’bah bahwa Tuhannya Ibrahim telah memerintahkannya untuk menggali sumur Zamzam [9] (ibid: 100, mengutip dari Ibn Hisyam, al Sira, hal. 136, 139). Dia lalu melarang semua penyembahan dan ibadah pada berhala² dan meminta masyarakat Mekah kembali pada agama Ibrahim, yang disebutnya sebagai agama Hanafiya. Ketika bulan Ramadhan tiba, dia akan pergi ke gua Hirah [10] untuk bertapa di sana. Abd Mutalab mulai mengajak masyarakat Mekah untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan karena dia percaya akan kebangkitan jiwa² orang mati dan penghakiman di hari kiamat. Sebenarnya Abd Al-Mutalab bukanlah pendiri pertama agama Hanafiya. Menurut al-Qimni, beberapa orang dari Yemen mendirikan agama ini di abad pertama Masehi sebelum kelahiran Yesus (ibid:111, mengutip dari Dr. Jawad ‘Ali, al-Mufasal, hal. 59, dan Thuria Manquosh, al-Tawhid, hal. 159). Abd Al-Mutalab tidak tahu asal-usul agama Hanafiya dan karenanya dia memilih saja nabi Yahudi yakni Ibrahim (ibid, mengutip dari al-Fakhr al-Razi). Masyarakat Yemen sudah terbiasa menyembah satu tuhan yang mereka sebut sebagai Al-Rahman (ibid, mengutip dari Dr. Jawad ‘Ali, al-Mufasal, hal. 59).
[9] Sumur suci di Mekah
[10] Nabi Muhammad mengaku bahwa malaikat Jibril datang padanya untuk pertama kali di gua ini dan menyampaikan ayat pertama Qur'an. Di jaman pra-Islam, gua ini dikenal sebagai "Khar Khirah", yang merupakan julukan tempat masyarakat Mekah buang hajat. Di jaman itu masyarakat Arab tidak punya WC di dalam tenda mereka.
Banyak orang yang lalu menerima agama Abd Al-Mutalab dan beberapa dari mereka juga mengembangkannya. Pengikut² agama Hanafi [11] yang paling utama adalah:
Qas Ibn Sa’ad al-Ia’adi
Dia mengajak orang² untuk mengikuti “Satu Tuhan, yang tidak melahirkan dan dilahirkan, dan padaNyalah segala sesuatu akan kembali” (ibid: 112, mengutip dari al-Shahirstani, al-Milal wa al-Nihel 1951, hal. 96). Karenanya, dialah orang pertama di Jazirah Arabia yang menyebut tentang Tauhid atau Tuhan yang Esa.
Suaid Ibn A’amir al-Mustalaq
Dia mengatakan “orang tidak berdaya mengalami hal yang jelek atau baik. Semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan.” (ibid, mengutip dari al-Awasi, Boloq Alarab, hal. 219, 259). Maka al-Mustalaq menetapkan pengertian tentang takdir.
‘Awkia Bin Zohir al-Ia’adi
Dia mengaku sebagai Nabi (ibid, mengutip dari Ibn Habib, al-Mahbar, hal.136, and al-Awasi, Boloq Alarab, hal. 260). Dia dulu sering pergi ke tempat yang rendah di Mekah, lalu naik tangga, dan mengatakan pada orang² bahwa Tuhan berkata padanya dari tempat ini. Akan tetapi ‘Awkia tidak berhasil dalam usahanya mengaku sebagai Nabi (ibid).
Waraqa Ibn Nawfal
Dia mengajak orang² untuk beribadah pada Tuhannya Ibrahim dan mengikuti agama Hanafiya pada mulanya, tapi dia lalu memeluk agama Kristen. Dia adalah saudara sepupu istri pertama sang Nabi, yakni Khadijah. Melalui Nawfal, Khadijah jadi yakin bahwa suaminya adalah seorang Nabi (ibid: 114, mengutip Ibn Hisyam, al-Sira, hal. 511-512).
Ala’af Ibn Shihab al-Tamimi
Dia percaya keesaan Tuhan, kebangkitan jiwa² yang mati, dan pahala bagi perbuatan baik dan hukuman bagi perbuatan jahat (ibid: 115, mengutip dari al-Awasi, Boloq Alarab, hal. 277).
Umat Hanafiya melakukan praktek² ibadah seperti “sunat, naik haji ke Mekah, wudhu setelah bersetubuh, menolak penyembahan berhala, percaya pada satu Tuhan yang menentukan nasib baik dan jelek, dan semua di jagad raya ini telah ditakdirkan dan ditulis nasibnya.” (ibid: 116, mengutip dari Dr. Jawad ‘Ali, al-Mafasal, hal. 290). Menurut al-Qimni, satu²nya yang belum ada bagi umat Hanafiya adalah seorang Nabi (ibid: 116). Ketika umat Hanafiya sadar pentingnya memiliki seorang Nabi, mereka lalu bersaing satu sama lain untuk menentukan siapa diantara mereka yang layak jadi Nabi. Mereka mengira wahyu akan dinyatakan pada satu orang yang mencapai tingkat spiritual dan kesucian yang tinggi (ibid: 117). Salah satu dari mereka, yakni Zayd Ibn ‘Umar Ibn Nafil, tenar akan kerohaniannya dan dia tidak minum minuman beralkohol, tidak makan bangkai, darah, babi dan semuanya yang disembelih tanpa menyebut nama Allâh atau apapun yang dipersembahkan pada berhala (ibid:118, mengutip Ibn Hisyam, hal. 206). Umat Hanafiya lainnya adalah Umaiyya Ibn Abd Allah Ibn Abi al-Salt yang tidak pernah menerima Islam karena mengira dia sendiri akan jadi Nabi (ibid: 121, mengutip Dr. Jawad ‘Ali, hal. 280-281, Ibn Hisham hal. 208-209, dan Ibn Kathir hal. 206, 208). Ketika dia diberitahu bahwa Nabi Muhammad membunuh orang² Mekah dalam perang Badr, dia menyobek-nyobek bajunya dan meratap-tangis dan berkata jika dia adalah Nabi, maka dia tidak akan membunuhi keluarganya sendiri (ibid, mengutip dari Dr. Jawad ‘Ali, hal, 377, 378, 383).
Al-Qimni menyatakan banyak sajak² yang ditulis oleh kedua pemeluk Hanafiya, yang lalu dimasukkan ke dalam Qur’an (ibid, hal. 118-123). Berikut adalah contoh ayat yang ditulis oleh Umaiyya Ibn Abd Allah Ibn Abi Salt dan dimasukkan ke dalam Qur’an:
Tentang Ibrahim ketika dia bermimpi akan membunuh putranya Ismail,
Umaiyya berkata, “Wahai putraku, aku telah memberikanmu sebagai persembahan pada Tuhan, bersabarlah karena Allah akan menggantimu. Putranya menjawab bahwa segalanya milik Allâh tanpa perkecualian. Lakukan apa yang telah kau janjika pada Allah dan jangan melihat darahku yang menutupi bajuku. Dan saat dia menanggalkan baju anaknya, Allâh mengganti putranya dengan persembahan halal seekor domba.
Tentang Maria dan putranya Yesus, Umaiyya berkata,
Dan adalam agamamu karena Tuhannya Maria adalah sebuah tanda, yang tentang Yesus putra Maria. Seorang malaikat datang pada Maria pada saat orang² sedang tidur, dan malaikat itu tampil nyata dan tidak tersembunyi. Dia berkata, “Jangan takut atau tak percaya pada para malaikat Tuhan dari ‘Aad dan Jariham. Aku adalah utusan al-Rahman yang memberimu seorang putra.” Maria berkata, “Bagaimana mungkin aku punya putra sedangkan aku tidak pernah jadi wanita jalang atau mengandung?
Tentang Musa dan Harun dan kisah mereka dengan Firaun, Umaiyya berkata,
Karena kebaikan dan pengampunanMu kau mengangkat Musa sebagai seorang Nabi. Kau berkata padanya, pergilah kau dan Harun menghadap Firaun yang congkak. Katakan padanya, apakah kau membuat bumi tanpa gunung² untuk melindunginya? Dan katakan padanya, apakah kau membuat langit tanpa pilar² pendukung?
Tentang Hari Kiamat, Umaiyya berkata,
Ketika mereka menghadap pada Takhta Allâh, yang mengetahui yang tersembunyi dan yang nyata. Ketika kami datang menghadapNya, Dia adalah Tuhan yang pengasih dan janjiNya dipenuhi. Dan kaum berdosa dibawa dengan telanjang ke tempat terkututk bagi mereka. Di sana mereka tidak mati untuk beristirahat, dan mereka tetap berada dalam lautan api.
Al-Qimni mengutip pernyataan Dr. Jawad ‘Ali sebagai berikut:
Terdapat banyak kesamaan pendapat dalam ayat² puisi di atas dengan apa yang tertulis dalam Qur’an tentang Hari Kiamat, Surga, dan Neraka. Terlebih lagi, kita dapatkan dalam puisi² Umaiyya konstruksi dan isi kalimat yang sama seperti yang tercantum dalam Qur’an dan ahadis. Tentu saja tidak mungkin bahwa Umaiyya menjiplak puisi tersebut dari Qur’an sebab saat itu Qur’an belum diwahyukan. Meskipun dia meninggal di tahun ke 9 Hijriah, kita tidak bisa membuat kesimpulan bahwa dia mencuri ayat² Qur’an karena saat itupun Qur’an belum selesai diwahyukan. (ibid: 123-124, Dr. Jawad ‘Ali, al-Mafsal, hal. 384-385).
Selain tentang agama Hanafiya, al-Qimni juga membahas sedikit tentang agama Al-Sabiah atau Sabian. Menurut dia, umat Sabian “biasa sembahyang berkali-kali setiap hari dan hal ini merupakan kewajiban ibadah. Dalam sembahyang mereka melakukan qiyam (berdiri) dan ruk’u (berlutut dan bersujud), melakukan wudhu sebelum sembahyang, dan mencuci tubuh mereka setelah berhubungan sex, dan mereka punya beberapa ketentuan yang membatalkan wudhu.” (ibid: 111, mengutip dari Mahmoud al-‘Aqaad 1967, hal. 144).
Munculnya Nabi yang Ditunggu-tunggu
Setelah penjelasan latar belakang keadaan, al-Qimni berkata, “dan setelah Muhamad SAW mulai mengikuti jejak langkah kakeknya Abd Al-Mutalab di gua Hira, dan gua ini berubah jadi tempat suci dan terkenal dalam sejarah … dan dia beriman pada agama Hanafiya, dan sebelum mencapai usia 40 tahun, dia menyatakan diri sebagai Nabi ummat [12], setelah Tuhan Ibrahim menyatakan diri padanya.” (ibid: 132).
[12] Qalam 68:13 “yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.”
Pada mulanya, masyarakat Mekah tidak menentang atau menerima agama baru Muhammad. Akan tetapi, para pemimpin Mekah mulai protes ketika ayat² Qur’an mulai menghina mereka (ibid: 134). Contohnya, dalam Sura Qalam (Pena), ayat 68:13, Qur’an menyebut Al-Akhnas Ibn Shariq sebagai anak haram karena dia menyebut Muhammad sebagai orang sakit jiwa atau orang kesurupan (ibid, mengutip dari Ibn Kathir, hal. 243). [13] Dalam Surah Al-Muddaththir, ayat 74:50, Qur’an menyatakan bahwa para ketua masyarakat suku sebagai keledai² karena mereka menolak masuk Islam (ibid). [14] Dalam Sura Al-Masad 111 (Api), Qur’an membantah pernyataan paman Muhammad yang bernama Abd al-‘Aizi, dan menyebut dia sebagai Abu Lahab atau “Ayah Api,” dan menyebut istrinya yang merupakan saudara perempuan Abu Sufyan, sebagai pembawa kayu bakar di neraka. Dan di Sura Al-Kafirun 109, Qur’an menyebut masyarakat Mekah sebagai kafir (ibid:135). Akan tetapi, para ketua Mekah tidak melihat bahaya dari Islam sampai Muhammad mulai membujuk para budak untuk memberontak terhadap majikan² mereka. Pada saat ini kelompok Abd Al-Dar mulai bersekutu dengan suku² Mekah lainnya untuk mencegah Islam berkembang (ibid: 141, mengutip Ibn Hisyam, hal. 238, 241). Mereka sekarang melihat bahwa putra² Abd Manaf mencoba menguasai seluruh suku² Arab melalui cara sebagai Nabi baru.
[13] Muddaththir 74:50 “seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut”
[14] Nabi Muhammad mengganti nama kota Yathrib jadi Medina.
Persekutuan dengan Suku² Medina
Ketika Muhammad mulai kehilangan harapan untuk mendapat dukungan di Mekah, dia menerima ajakan orang² Yahtrib [15] dari suku Al-Khaoz dan Al-Khazrig untuk tinggal di Yathrib dan jadi ketua mereka (ibid:150). Suku² Yathrib ingin menguasai kota Mekah dengan cara menyerang dan mencegat kafilah² dagang Mekah yang datang dari Al-Sham atau Syria menuju ke Mekah. Perbuatan penyerangan ini dihalalkan dalam Islam (ibid). Suku² Yahudi yang saat itu tinggal di Yathrib menerima persetujuan dari suku² Al-Khaoz dan Al-Khazrig, dan berjanji untuk berperang bersama dengan mereka. Dengan begitu, ayat² Qur’an memuji-muji kaum Yahudi dan nabi²mereka mulai bermunculan. Ayat² ini menyatakan masyarakat Yahudi melebihi segala masyarakat lain di seluruh dunia [lihat Qur’an, Sura² Al-Baqarah 2: 62, Al-Maidah 5: 44, Al-A’raf 7: 157, and As-Saff 61: 6] (Ibid: 150). Akan tetapi, sikap ramah Muhammad terhadap kaum Yahudi ini tidak lama berlangsung. Sang Nabi “bersikap ramah untuk beberapa saat pada kaum Yahudi, lalu mulai berdebat dengan mereka, dan menunggu bertindak sampai datang kesempatan baik untuk mencabut kuku² mereka (menyiksa mereka), dan akhirnya menghancurkan mereka sepenuhnya” (ibid: 151, mengutip dari Ahmed al-Sharif, Makka wa al-Madina, hal. 415).
[15] Kaum Ansar merupakan pendukung Nabi dari Medina, dan kaum Mujahirin adalah umat Muslim Mekah yang hijrah bersama Nabi ke Medina.
Tak lama setelah sang Nabi pindah ke Yahtrib, yang lalu dinamakannya sebagai Medina, dia membuat perjanjian dengan kaum Yahudi dan mulai menyerang kafilah² dagang Mekah, yang datang dari Al-Sham atau Syria (ibid: 153). Persekutuan antara suku² Medina dan Muhammad berperanan penting dalam mengalahkan suku² Mekah. Dan akhirnya memang Mekah jatuh dan kelompok keluarga Hashmi mengambil alih kekuasaan di kota Mekah dan Medina. Ketika Muhammad menguasai Ka’bah, suku² Arab menerima agama baru Islam (ibid: 154). Akan tetapi, kekuasaan keluarga Hashmi tidak berlangsung lama setelah sang Nabi wafat. Putra² Umayyah, yang diasingkan ke Syria, menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam terhadap keluarga Hashmi. Dan ketika kesempatan baik tiba, mereka tidak hanya mengambil alih kekuasaan, tapi juga membunuh semua anggota keluarga Hashmi. Mereka membunuh cucu² Muhammad yakni Hasan dan Husyein, dan memusnahkan seluruh keluarga Hashmi dari muka bumi. Mereka juga bahkan menghancurkan Ka’bah dengan ketepel² raksasa (ibid: 154). Ma’uwiyah, yang merupakan kalifah pertama bani Umayyad menulis syair yang menyarikan buku yang ditulisnya yakni Al-Hizb Al-Hashmi:
Suku Hashmi bermain-main dengan kepemimpinan
Tiada kabar atau wahyu yang datang dari surga
(ibid: 154, mengutip dari Muhammad al-Qazuni, hal. 9, dan Ibn Kathir, al-Bedayia wa al-Nihaia, hal. 227).
Akan tetapi, kisahnya tidak berhenti dengan kesimpulan itu, tapi diteruskan dalam buku Al-Qimni dalam bab Hurub Dawlat Al Rasul (Peperangan Negara Nabi).
Bab 2 – Nabi Muhammad
Dalam bab Hurub Dawlat Al Rasul (Peperangan Negara Nabi), al-Qimni menelaah secara detail peperangan yang dilakukan Nabi Muhammad dan dasar utama negara Islam pertama. Penelaahan al-Qimni berbeda dengan apa yang biasanya diungkapkan penulis sejarah. Dia menyingkirkan segala kisah muzizat² atau campur tangan illahi dalam peperangan tersebut, yang dipercaya para sejarawan Muslim sebagai alasan utama kemenangan perang di Negara Islam milik Nabi. Sebaliknya, al-Qimni menilai kemenangan ini terjadi karena kepemimpinan dan taktik militer Nabi Muhammad. Terlebih lagi, al-Qimni yakin bahwa kemenangan inilah yang membuat Nabi Muhammad mengganti nama kota Yathrib menjadi Medina. Sebelum hijrah dari Mekah ke Medina, pesan Islam berdasar pada pendekatan damai tanpa pemaksaan. Saat itu, ajaran Islam mengajak umat Muslim untuk bersabar dan menunggu pahala mereka di surga. Akan tetapi, setelah hijrah ke Medina, “semua umat Muslim, baik Muslim Ansar maupun Muslim Muhajirin, [16] diubah jadi tukang perang, penyerang², dan prajurit Negara Islam di Medina. Semua perubahan ini terjadi setelah tujuan berubah dari masyarakat yang beribadah pada tuhan kakek moyang menjadi pendirian sebuah Negara , yang diwakili oleh prajurit perang dan darah.” (al-Qimni 2001: 164). Dengan adanya perubahan itu, pengikut Nabi pun jadi melonjak lebih banyak jumlahnya dan hal ini mengakibatkan kemenangan di Badr, seperti yang dijelaskan al-Qimni sebagai berikut:
[16] Muslim Ansar adalah pendukung Nabi yang hidup di Medinah, sedangkan Muslim Muhajirin adalah umat Muslim asal Mekah yang ikut hijrah bersama Nabi ke Medina.
Dan ini adalah perubahan materi yang paling berbahaya, yang berperan sangat penting untuk menarik minat bergabung para tukang perang dari suku² yang lebih lemah, setelah sang Nabi berusaha selama tiga belas tahun di Mekah mengajak orang² memeluk agamanya tanpa keberhasilan nyata. Dulu di Mekah, ajakan memeluk Islam dilakukan dengan janji nikmat dan hidup berkelimpahan nantinya di surga… Akan tetapi, setelah Allâh memberi ijin pada Nabi dan umat Muslim yang setia untuk mengambil harta kafir, maka tujuan adalah memiliki harta duniawi dan ini tentunya menarik minat orang² miskin. Iming² harta jarahan duniawi ini membuat orang² lemah miskin bergabung jadi prajurit di Negara Islam baru. (ibid: 165).
Menurut al-Qimni, sang Nabi berusaha bersekutu dengan tiga suku Yahudi utama yakni Quaynuqa, al-Nadir, dan Qurayzah di Medina, ketika dia masih lemah dan tidak punya banyak pengikut (al-Qimni: 141). Pada saat itu, ayat² Qur’an mengatakan “kedudukan umat Israel yang tinggi dalam sejarah politik di daerah kekuasaan Daud dan Salomo, dan tempatnya yang terhormat di sejarah agama Nabi² dari Nuh sampai Abraham dan Ishak dan Yusuf dan Musa, dll” (ibid). Qur’an dengan jelas menghormati dan mengakui Taurat milik umat Yahudi (ibid). Pada saat itu, Nabi puasa di hari Paskah Yahudi dan saat sholat berqibla [17] ke Yerusalem, kota suci umat Yahudi.
[17] arah sholat.
Al-Qimni yakin bahwa kaum Yahudi Medina menerima persekutuan dengan Muhammad karena adanya kemungkinan hal ini mendatangkan keuntungan pula bagi mereka di masa depan (ibid). Akan tetapi, “Yahudi Medina, yang mengharap peruntungan masa depan, mendapatkan bahwa mereka sangat salah duga, terutama setelah mengalahkan pasukan Quraish di Badr. Sudah jelas sekarang bahwa para Muslim merampas harta benda Quraish di Badr dan mereka jadi penuh percaya diri dan tidak butuh persekutuan dengan kaum Yahudi lagi” (ibid: 141-142). Tak lama setelah Nabi menang perang di Badr, “dia mengumpulkan orang² Yahudi di pasar Quaynuqa dan berkata pada mereka: ‘wahai masayarakat Yahudi, terimalah Islam sebelum terjadi padamu apa yang telah terjadi pada suku Quraish’ “ (ibid:243, mengutip dari al-Bihaqi, hal. 173). Meskipun Nabi tidak memberi Yahudi Quaynuqa pilihan lain kecuali Islam atau mati, al-Qimni menjelaskan bahwa buku² Sira Islam [18] menunjukkan penghalalan sikap pembantalan perjanjian dengan kaum Yahudi (ibid: 244). Menurut para penulis sejarah di Sira Islam, seorang Muslimah datang ke pasar Quaynuqa untuk belanja dan sekelompok pemuda Yahudi menggodanya dan hal ini mengakibatkan bagian tubuhnya tersingkap. Karena itu seorang Muslim membunuh salah seorang dari pemuda² Yahudi itu, dan para Yahudi lalu membalas bunuh Muslim tersebut. Al-Qimni menolak menerima keterangan ini sebagai penghalalan pengusiran seluruh suku Yahudi Quaynuqa dari Yathrib sehingga mereka terpaksa keluar dari Jazirah Arabia dan tinggal di al-Sham atau Syria (ibid: 246, mengutip dari al-Halabi, hal. 478).
[18] Sira adalah buku² yang menuliskan kehidupan sang Nabi.
Suku Yahudi yang kedua adalah suku al-Nadir, yang dituduh Nabi berencana untuk membunuhnya. Al-Qimni sekali lagi meragukan alasan seperti itu sebagai penghalalan pengusiran seluruh suku al-Nadir dari Arabia setelah merampas semua harta benda dan kekayaan mereka dan lalu membagi-bagikannya diantara umat Muslim. Akan tetapi, kali ini penghalalan dinyatakan dari surga karena “surga memberitahu sang Nabi melalui malaikat Jibril bahwa sebagian Yahudi berkata satu sama lain, ‘kau tidak akan mendapatkannya seperti dia sekarang ini,’ dan Rasul Allâh sedang duduk dekat salah satu tembok mereka, ‘seseorang harus naik ke atas rumah dan menjatuhkan batu padanya sehingga membunuhnya dan kita lalu bisa hidup dengan tenang” (ibid: 355, mengutip Ibn Kathir, al-Bedya, hal. 76). Setelah malaikat Jibril menyatakan rencana pembunuhan itu pada Nabi, dia lalu menyerang suku Nadir dan memaksa mereka menyerah padanya. Setelah itu, lagi² sang Nabi membagi-bagikan harta kekayaan kaum Yahudi diantara umat Muslim dan kaum Yahudi pun harus keluar dari Arabia dan akhirnya tinggal di Palestina (ibid: 360).
Pembantaian Yahudi Qurayzah
Suku Yahudi Qurayzah dituduh bersekongkol dengan musuh di Khazwat al-Khandaq atau Perang Parit. Menurut al-Qimni, pihak sekutu Mekah mengepung Medina dan berusaha menyerang Muhammad dan umat Muslim. Ketika Muhammad tahu tentang penyerangan ini, dia menggali parit di sekeliling Medina untuk mencegah musuh masuk kota itu. Satu²nya tempat yang tidak dilindungi adalah tempat tinggal bani Qurayzah yang hidup dalam benteng² mereka yang kuat. Nabi tahu titik lemah persetujuannya dengan umat Yahudi. Ketika pihak musuh sedang mengepung Medina, Muhammad mendengar berita bahwa kaum Yahudi setuju untuk membuka benteng² mereka sehingga pihak musuh dapat masuk dan menghancurkan pasukan Muslim. Akan tetapi, al-Qimni meragukan kebenaran rencana rahasia karena kenyataan suku Yahudi tidak pernah membuka benteng mereka untuk musuh. Al-Qimni berpendapat, jikalau sekalipun kaum Yahudi setuju untuk membuka benteng² mereka tapi pada kenyataan mereka tidak mekalukan hal itu, maka seharusnya mereka tidak bisa dituduh melanggar perjanjian dengan Nabi (ibid: 384).
Dalam keterangan rinci yang tragis dan dramatis, al-Qimni mengisahkan bagaimana suku Qurayzah dipenggal tanpa ampun tak lama setelah tentara sekutu Mekah meninggalkan Medina. Sekali lagi, Jibril-lah yang membisiki sang Nabi untuk maju dengan pasukannya ke suku Qurayzah.
Dikisahkan oleh Aisyah: ketika Rasul Allâh bebas dari serangan sekutu, dia masuk rumah lalu melakukan wudhu untuk sholat, Jibril datang padanya, kulihat kepala Nabi ditutupi debu. Jibril berkata pada Nabi ‘Oh Muhammad, apakah kau telah meletakkan senjatamu?’ Nabi berkata padanya, ‘Kami telah meletakkan senjata² kami.’ Jibril berkata padanya, ‘Kami belum meletakkan senjata² kami. Bangkit dan pergilah ke Banu Qurayzah…’
Rasul Allah memerintahkan muzzein [19] untuk memanggil orang², yang mendengar harus menurut untuk tidak melakukan sholat Asyar kecuali di tempat Banu Qurayzah (ibid: 390-391, mengutip dari Ibn Kathir, hal. 119).
[19] Panggilan untuk Sholat atau Perang.
Suku Qurayzah tidak punya pilihan kecuali menyerah pada pasukan Muslim dan menunggu nasib mereka. Mereka mengira Nabi akan mengsusir mereka seperti yang dilakukannya pada kedua suku Yahudi terdahulu, dan juga merampas semua harta kekayaan, ternak mereka. Akan tetapi Muhammad menyerahkan keputusan akan nasib mereka pada seorang ketua Arab yang bernama Sa’ad bin Mu’aaz (yang luka parah akibat perang Khandaq). Sa’ad mengusulkan semua pria dibunuh dan wanita, anak², dan kekayaan dibagi-bagi diantara umat Muslim. Usul ini diterima Nabi dan dia berkata pada Sa’ad bin Mu’aaz, “Kau telah menghakimi mereka dengan penghakiman Allâh, yang diberikan padamu dari tujuh surga” (ibid: 395, mengutip dari al-Tabari, hal. 587-588). Al-Qimni melanjutkan, “Dan kami mengetahui sesuatu yang baru dari pembantaian ini. Ternyata pembantaian tidak dilakukan hanya pada pria dewasa saja, tapi juga pada anak² laki yang masih kecil” (ibid: 398, mengutip dari al-Tabari, hal. 591).
Menurut penulis² sejarah Sira, Allâh menghadiahi Sa’ad bin Mu’aaz karena usul pembantaiannya dan dia mati seketika setelah pembantaian dilakukan. Malaikat Jibril datang kepada Nabi di tengah malam dan mengatakan padanya bahwa Sa’ad bin Mu’aaz mati dan takhta Allâh berguncang untuk menghormati Sa’ad. Upacara penguburan jenazah Sa’ad dikunjungi oleh tujuh puluh malaikat (ibid: 397, mengutip dari al-Bihaqi, hal. 28-29). Al-Qimni menyalahkan para penulis Sira terutama Ibn Hisyam karena menambah-nambahi muzizat² di sana-sini guna menunjukkan penghalalan pembantaian masyarakat Yahudi Banu Qurayzah dan kegagalan tentara sekutu Mekah menduduki Medina. Al-Qimni menulis, “Meskipun Ibn Hisyam mengetahui di mana penipuan dilakukan, bagaimana penipuan itu dilaksanakan, dan siapa yang melaksanakan untuk mengikutsertakan Qurayzah dengan tentara sekutu Mekah, tapi Ibn Hisyam tetap saja sebagai Muslim mengatakan dengan yakinnya bahwa ‘Allâh menggagalkan rencana² mereka” (ibid: 388). Dan intervensi illahi ini dinyatakan pula di Qur’an 33:9 yang mengatakan,
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” Para tentara malaikat tidak berperang di Perang Khandaq seperti di Perang Badr, tapi mereka menciptakan badai keras yang membuat pihak tentara sekutu kalah dan akhirnya mundur (ibid: 389).
Menurut al-Qimni, kekalahan dan mundurnya tentara sekutu Mekah tidak ada hubungannya dengan segala muzizat illahi. Sang Nabi tahu akan hal ini. Sama seperti kaum Muslim punya titik lemah yakni perihal Banu Qurayzah, pihak sekutu pun punyha titik lemah yakni suku Gathafan, yang merupakan ranting suku² Fazari (ibid: 385). Melalui mata²nya, sang Nabi tahu bahwa suku Gathafan bergabung dengan pasukan sekutu Mekah untuk balas dendam karena Muhammad membunuh pemimpin wanita mereka yang bijak yakni Umm Qirfa dengan cara menarik tubuhnya dengan dua ekor unta sampai tubuhnya terbelah dua (ibid: 299, mengutip dari al-Tabari, hal. 643, dan al-Suhaili, hal. 237). Umm Qirfa saat itu berusia 100 tahun dan dia dibunuh dengan cara sangat keji tanpa alasan apapun, kecuali karena dia terkenal sebagai wanita bijaksana di Arabia (ibid). Muhammad tahu bahwa dia dapat meredakan amarah suku Ghatafan dengan memberi mereka harta benda jika mereka mau meninggalkan tentara sekutu Mekah.
Sang Nabi secara rahasia mengirim utusan kepada kedua tokoh pemimpin Ghatafan yakni Husn dan Haris bin ‘Awf, dan meminta mereka mengundurkan diri dari tentara sekutu dengan janji memberi mereka sepertiga hasil panen al-Medina. Tapi ‘Ainiah yang serakah meminta separuh hasil panen Medina. Sang Nabi setuju untuk memberikan separuh hasil panen dengan syarat para pemimpin Ghatafan harus memecah-belah suku Qurayzah dan tentara sekutu Mekah(ibid: 385, mengutip dari Ibn Sa’ad, hal. 52).
Melalui perjanjian dan penipuan rahasia ini, ketua Ghatafan yang bernama Nai’am bin Mu’aaz, yang diam² jadi Muslim, berhasil menciptakan perpecahan antara tentara sekutu Mekah dan Qurayzah (ibid: 386-387). Dia berhasil meyakinkan Yahudi Qurayzah untuk tidak membuka benteng² mereka untuk tentara sekutu Mekah karena mereka tinggal di Medina dan akan berakibat buruk bagi mereka jika pasukan Quraish Mekah dan Ghatafan kembali ke kota asal mereka. Nai’am bin Mu’aaz juga berhasil meyakinkan pemimpin Quraish Mekah yakni Abu Sufyan bin Harb bahwa Yahudi Qurayzah menyesal atas keputusan mereka dan meminta ampun pada sang Nabi. Katanya, para Yahudi berkata pada sang Nabi, “Apakah kau akan senang jika kami menangkap kedua pemimpin suku² Quraish dan Ghatafan, dan menyerahkan mereka padamu agar kau bisa memenggal kepala mereka? Lalu, kami akan bergabung bersamamu di medan perang sampai kita berhasil menghancurkan tentara mereka. Sang Nabi menjawab pada mereka, ‘Ya’” (ibid: 387). Al-Qimni menyarikan kesimpulannya tentang Perang Khandaq dan pembantaian Banu Qurayzah dengan mengutip perkataan Nabi pada Nai’am bin Mu’aaz, “Tipulah mereka bagi kami jika kau bisa, karena perang merupakan penipuan” (ibid: 386), dari Ibn Hisyam, hal 265).
Setlah pengusiran dua suku Yahudi Quaynuqa dan Nadir dan pembantaian suku Yahudi Qurayza, maka tak ada satu pun suku Yahudi yang tersisa di Medina. Yang masih ada hanyalah suku Yahudi yang tinggal di kota Khaybar. Seluruh kota dihuni masyarakat Yahudi. Kota ini memiliki benteng² yang kuat. Sang Nabi memberitahu umatnya bahwa dia menerima wahyu surgawi untuk mengalahkan kota ini (ibid: 442, mengutip dari al-Bihaqi, hal. 197). Tak lama setelah kejadian Perjanjian Hudaybiyah, [20], Nabi mengambil keputusan menyerang Khaybar. Menurut al-Qimni, saat ini sang Nabi benar² telah memerangi masyarakat Yahudi dan agama mereka sepenuhnya dan mulai menerapkan ibadah² agama pagan Mekah ke dalam Islam. Tentang hal ini al-Qimni berkata, “Sang Nabi tahu sekali bahwa kaum Yahudi dengan kitab suci dan warisan budaya sejarah mereka, tidak akan pernah mengakuinya sebagai Nabi di kota Medina, di negara Islamnya yang kecil. Karena itulah dia melakukan serangan cepat membersihkan Yathrib dari kaum Yahudi” (ibid: 367). Selain itu, al-Qimni yakin bahwa masyarakat pagan Mekah senang dengan kenyataan Muhammad memasukkan unsur ibadah pagan Mekah ke dalam Islam.
Sekarang semua simbol² agama Yahudi dalam Islam ditanggalkan. Qibla ke Yerusalem diganti jadi qibla ke Ka’bah di Mekah. Sang Nabi lalu mulai memuji-muji Ka’bah yang senantiasa disembah kaum pagan Arab di sepanjang sejarah mereka di masa Jahiliyah. Perubahan ini diketahui oleh suku² Quraish di Mekah. Mereka tahu bahwa setelah Perang Khandaq, Nabi menyingkirkan suku Yahudi terakhir di Yathrib, dan dengan perjanjian Hudaybiyah, hati Nabi kembali kepada asal-usulnya yakni Arab-Mekah-Quraish. Dia lalu menyerap tatacara ibadah pagan Quraish (ibid: 437).
Penyerangan Khaybar
Duapuluh hari setelah Perjanjian Hudaybiyah, sang Nabi memimpin pasukan Muslim menyerang Khaybar. Khaybar adalah kota kedua, setelah Mekah, yang terpenting dan terbaik kekuatan militernya. Masyarakat Yahudi Khaybar tidak mengira Muhammad akan menyerang mereka sehingga ketika tentara Muslim tiba, mereka sangat kaget. Akan tetapi, kota ini dilindungi oleh benteng² Khaybar yang kokoh dan mereka menolak tuntutan Nabi agar mereka menyerah (ibid: 444). Ketika kota Khaybar menolak untuk menyerah, “Sang Nabi mengambil keputusan untuk menggunakan ketepel² raksasa” untuk menghancurkan benteng (ibid). Menurut al-Qimni, ketepel² seperti itu belum pernah digunakan sebelumnya di Arabia (ibid). Ketika pasukan Yahudi melihat ketepel² tersebut, “mereka tahu kematian mereka sudah hampir tiba, dan jika Nabi menembak kota dengan ketepel² itu, maka kota itu akan hancur berantakan dan semua penduduk kota akan mati” (ibid). Untuk menghindari kehancuran hebat seperti itu, pemimpin Khaybar yakni Kinanah bin Abi al-Haqiq muncul dari kota dan memegang bendera tanda menyerah. Dia menghadap Nabi dan mengatakan keinginan masyarakat Khaybar untuk menandatangani perjanjian damai dengan Nabi. Sang Nabi setuju untuk membuat perjanjian dengan syarat “mereka harus mengosongkan kota dan menyerahkan pada Nabi semua uang, benteng², dan tanah mereka, dan mereka tidak boleh membawa benda kuning atau putih kecuali baju yang menutupi tubuh mereka” (ibid, mengutip dari Ibn Kathir, al-Bedaia, hal. 200). Selain itu, Nabi mengatakan pada Kinanah jika dia berani menyembunyikan sesuatu dari Nabi maka Allâh dan RasulNya tidak lagi terikat perjanjian (ibid: 445, mengutip Ibn Kathir, hal. 204). Al-Qimni juga mengambil sumber lain tentang peristiwa ini dan menulis bahwa Nabi berkata pada Kinanah, “Dan jika kau menyembunyikan sesuatu dan aku nantinya mengetahui hal itu, maka darahmu dan wanita²mu halal bagi kami” (ibid: 445, mengutip dari Ibn Sa’ad, al-Tabaqaat, hal. 81).
Setelah Kinanah setuju untuk menyerahkan segala harta dan uang mereka, Nabi bertanya padanya tentang harta karun yang dimiliki Yahudi Khaybar (ibid). Kinanah menyangkal harta itu benar² ada. Menurut al-Qimni, pertanyaan Nabi hanyalah jebakan saja karena “Nabi sudah tahu tentang harta karun yang banyak itu dan di mana harta itu disembunyikan” (ibid: 445, mengutip Ibn Sa’ad, hal. 77). Keterangan tentang harta karun itu telah diketahui Nabi dari seorang Yahudi yang “menjual masyarakatnya dan mengungkapkan rahasia persembunyian harta karun itu” (ibid:446). Sang Nabi memerintahkan al-Zibiar bin al-’Awam untuk menyiksa Kinanah sampai dia menyatakan persembunyian harta karun tersebut. Menurut Ibn Hisyam, “Al-Zibair menggunakan obor api dan membakar pemimpin Yahudi itu sampai dia mati. Setelah itu, Nabi menyuruh Muhammad bin Salamah memancung leher Kinanah dan leher saudara Kinanah yakni Mahamoud bin Muslamah” (ibid, mengutip dari Ibn Hisyam, hal. 43).
Setelah Kinanah dan saudara lakinya dipancung, “pedang Islam membabati para Yahudi yang telah menyerah, dan membunuh sembilan puluh tiga orang Yahudi, begitu menurut penjelasan Ibn Sa’ad” (ibid:447, mengutip dari Ibn Sa’ad, hal. 77). Harta rampokan dan para wanita Yahudi lalu dibagi-bagi diantara para Muslim (ibid: 448). Menurut “semua penulis Sira dan sejarah Islam, dalam penyerangan Khaybar ini, para Muslim memaksa wanita² Yahudi untuk berhubungan seks dengan mereka di tempat terbuka, dan wanita² Khaybar diperkosa beramai-ramai, sampai Nabi menghentikan perkosaan terhadap wanita² yang sedang hamil” (ibid, mengutip dari Ibn Said al-Nas, ‘Uyun al-Athar, hal, 176). Sang Nabi sendiri mengambil Safiya bint Huaya (istri ketua Yahudi Khaybar Kinanah bin Abi al-Haqiq) setelah Nabi membunuh suaminya dan ayah Safiya (di pembantaian Yahudi Qurayza di pasar Medina) (ibid: 448-449), mengutip dari Ibn Kathir, hal. 197). Akan tetapi, seorang wanita Yahudi Khaybar bernama Zainab bint al-Harith berusaha membunuh Nabi dengan menyuguhkan daging kambing beracun di rumah Safiya bint Huaya (ibid: 453, mengutip dari Ibn Kathir, hal. 211). Ketika Nabi menanyai Zainab mengapa dia berusaha membunuhnya, Zainab menjelaskan pada Nabi, “kau telah membunuh ayahku, pamanku, suamiku, dan saudara lakiku” (ibid: 454, mengutip dari al-Bihaqi, hal. 257). Zainab dibunuh seketika. Racun dari daging kambing tersebut terus tinggal dalam tubnuh Nabi selama tiga tahun sampai akhirnya menyebabkan kematian Nabi (ibid: 454, mengutip Ibn Kathir, hal. 211). Dengan demikian, umat Muslim yakin bahwa Nabi mati sebagai syahid (ibid: 454, mengutip Ibn Kathir, hal. 216).
Usaha Menyerang Kekaisaran Romawi
Al-Qimni mengisahkan secara detail berbagai penyerangan yang dilakukan tentara Muslim terhadap suku² Arab, di bawah perintah dan komando sang Nabi. Serangan militer itu terus dilakukan sampai hampir seluruh suku² Arab dikalahkan dan tunduk di bawah kekuasaan negara Islam sang Nabi. Satu²nya kota yang masih belum dikuasai negara Islam adalah kota Mekah. Nabi mengatakan pada pasukannya bahwa Allâh telah berjanji untuk menyerahkan harta kekayaan Kekaisaran Romawi dan Persia. Untuk memenuhi janji ini, Nabi mengirimkan panglima militernya yakni Zayd bin Harith (bekas anak angkat Muhammad) untuk memimpin tiga ribu pasukan Muslim ke Syria untuk menyerang Kekaisaran Romawi, dan “Nabi tahu sekali bahwa pertempuran dengan pasukan Romawi akan terjadi, dan bagaimana hasil akhirnya” (ibid: 469, mengutip Ibn Kathir, hal. 241). Ketika panglima perang Romawi yakni Hercules mendengar kedatangan tentara Muslim, “dia sendiri memimpin pasukan Romawi untuk menghadapi pasukan penyerang yang berani mendekati kekaisarannya, dengan jumlah 100.000 tentara Romawi dan 100.000 tentara dari suku² Arab yang hidup dekat perbatasan Syria dan bersekutu dengan pihak Romawi” (ibid). Pasukan Hercules yang amat besar ini membunuh tiga panglima pasukan Muslim dan banyak tentara Muslim lainnya. Ketika Khalid bin al-Walid (salah satu pemimpin pasukan Muslim) mleihat tentara Muslim kalah, dia mengambil bendera Islam dan memerintahkan pasukan Muslim mundur dan kembali ke Medina. Di pintu gerbang kota Medina, umat Muslim melempari pasukan Muslim dengan pasir dan mengutuki mereka karena meninggalkan medan perang (ibid: 470). Akan tetapi sang Nabi memenangkan umat Muslim dan berkata pada mereka, “tentara Muslim tidak melarikan diri, tapi mengundurkan diri untuk sementara waktu” (ibid: 470). Perkataan Nabi ini mengungkapkan keinginannya untuk “terus menyerang kekuasaan Romawi dan Caesar)” (ibid).
Dalam kesempatan selanjutnya, Nabi sendiri pergi memimpin 30.000 pasukan Muslim dengan 10.000 kuda untuk menyerang Syria. Ketika pasukan Muslim tiba di perbatasan Kekaisaran Romawi di Syria, pasukan Romawi yang besar dan dipimpin Hercules telah siap menghadapi mereka. Sang Nabi berubah pikiran dan kembali ke Medina (ibid, mengutip Ibn Kathir, hal. 178 dan Ibn Said al-Nas, hal. 277). Untuk membenarkan tindakan Nadi mundur dari medan perang melawan Romawi, para penulis Sira menyalahkan Yahudi yang dituduh mereka melakukan rencana licik. Menurut al-Bihaqi, “alasan yang membuat Nabi pergi melawan Romawi adalah karena rencana licik Yahudi… tapi Allâh menyelamatkannya dari rencana licik tersebut” (ibid). Rencana licik ini dinyatakan oleh Jibril pada Nabi ketika Nabi mencapai Tabuk, sehingga dia membatalkan penyerangan dan kembali ke Medina (ibid: 533, Qur’an, Sura Al-Israa (17), ayat 76, 77). Dengan demikian, janji Nabi untuk mengalahkan orang² Romawi dan mengambil harta kekayaan mereka dan para wanitanya tetap tidak terpenuhi di jaman Nabi. Malah sebenarnya nubuat Nabi dalam hadis berikut tetap tidak terpenuhi sampai hari ini: “Serang Tabuk agar kau bisa mengambil gadis² berwarna kuning dan wanita² kaum Romawi. Algid berkata, berikan ijinmu, tapi jangan goda kami dengan wanita²” (al-Tabari menjelaskan ayat Qur’an di al-Tauba (9), ayat 49).
Ketika Nabi hampir tiba ajal, dia mengirim panglima militernya yakni Usama bin Zayd bin al-Harith (anak Zayd bin al-Harith yang adalah bekas anak angkat Nabi), untuk menyerang pasukan Romawi di al-Sham atau “Bulan Sabit Subur”. Bersama Usama, Nabi juga mengirim dua sahabatnya yakni menteri² Abu Bakr dan Umar bin al-Khattab (ibid: 553). Akan tetapi kedua menteri Abu Bakr dan Umar tahu bahwa Nabi mengirim mereka berdua bersama tentara Islam agar mereka berdua tidak terpilih sebagai Kalifah pertama karena Nabi ingin Ali yang jadi Kalifah pertama menggantinya. Akan hal ini al-Qimni menulis, “Tapi mereka tahu rencana Nabi, dan karenanya mereka menolak penunjukkan Usama bin Zayd. Mereka menunda pengiriman tentara di Jiraph [21] sampai Nabi wafat. Pada saat itu, mereka membatalkan rencana penyerangan dan mencopot kedudukan Usama sebagai panglima tentara Muslim” (ibid: 556).
[21] Nama tempat di daerah sekitar Medina.
Penaklukan Mekah
Menurut Perjanjian Hudaybiyah, seharusnya perdamaian antara umat Muslim dan masyarakat Quraish Mekah berlangsung selama 10 tahun. Ketika perjanjian ini ditandatangani, suku² Arab lainnya diberi pilihan untuk bergabung bersama Muhammad atau Quraish (ibid: 473). Karena itu, “suku Khoza’a bergabung bersama Muhammad … dan sewajarnya pula musuh suku Khoza’a yakni suku Bakr, bergabung bersama Quraish” (ibid). Permusuhan suku Khoza’a dan suku Bakr sudah berlangsung lama sebelum Perjanjian Hudaybiyah ditandatangani. Penjelasan dari buku² Sira:
Kembali ke masa sebelum ajakan masuk Islam dimulai. Buku² ini menyatakan pada kita rahasia di belakang pelanggaran Perjanjian Hudaybiyah … Buku² ini menjelaskan pada kita permusuhan penuh dendam antara suku² Khoza’a dan suku² Bakr dimulai ketika seorang pedagang Bakr melakukan perjalanan melewati daearah suku Khoza’a. Ketika dia tiba di perumahan Khoza’a, masyarakat Khoza’a membunuhnya dan merampas barang dagangnya (ibid).
Pembunuhan pedagang Bakr ini mengakibatkan perang berdarah antara kedua suku tersebut dan permusuhan terus terjadi ketika Perjanjian Hudaybiyah ditandatangani. Setahun setelah Perjanjian ditandatangani “terjadi perang antara suku² Bakr dan Khoza’a, dan penulis² Muslim menyalahkan suku Bakr … buku² Sira menyatakan: keadaan jadi lebih buruk ketika sejumlah orang Quraish memberi bantuan senjata pada suku Bakr, dan beberapa orang Quraish mungkin ikut berperang dengan suku Bakr melawan suku Khoza’a” (ibid: 474, mengutip dari Ibn Hisyam, hal. 84-85). Ketika berita ini didengar Nabi, dia lalu mengumumkan perang melawan Quraish, dan memerintahkan pasukannya untuk bersiap menyerang Mekah (ibid: 477).
Ketika pihak Quraish mendengar akan rencana penyerangan ini, “mereka mengirim ketua suku Quraish dan pemegang bendera Quraish yakni Abu Sufyan Sakhar bin Harb untuk menemui pemimpin Medina” (ibid: 475-476). Pemimpin Quraish meminta Nabi untuk tidak menyerang karena Quraish tidak ikut campur dalam pertikaian kedua suku yang bermusuhan, dan masih tetap memegang teguh Perjanjian Hudaybiyah. Akan tetapi Nabi menolak permintaan Abu Sufyan. Nabi bahkan tidak mau bicara dengan pemimpin Quraish. Karena itu, Abu Sufyan mendatangi Abu Bakr dan Umar bin al-Khattab dan meminta mereka untuk mencegah perang. Tapi Abu Bakr dan Umar tidak bersedia melakukan itu sehingga pemimpin Quraish pergi ke rumah ‘Ali bin Talib dan meminta dia untuk mencegah perang, tapi ‘Ali pun tidak mau melakukannya. Setelah itu Abu Sufyan mendatangi Fatima, istri ‘Ali dan juga putri Nabi, dan memohon Fatima untuk mencegah perang. Meskipun Abu Sufyan telah memohon dengan menyinggung perihal putranya yakni al-Hussein, Fatima tetap tidak mau membantu Abu Sufyan (ibid: 476-477).
Pemimpin Quraish terus mengunjungi satu rumah ke rumah lainnya di Medina sampai dia bertemu dengan al-‘Abass, paman Muhammad. Akan tetapi al-‘Abbas berkata padanya, “Hati²lah kau, terima Islam dan bersaksilah tiada tuhan selain Allâh, dan Muhammad adalah Rasul Allâh, sebelum lehermu dipotong. Seketika itu pula pemimpin Quraish mengucapkan Syahadah [22] dan menjadi Muslim” (ibid: 480, mengutip Ibn Hisyam, hal. 99). Menurut al-Qimni, pemimpin Quraish mengucapkan Syahadah karena takut dibunuh, tapi dalam hati dia tetap mengikuti agama kakek moyangnya (ibid). Setelah Abu Sufyan mengucapkan Syahadah, dia bertanya pada Nabi, “Apa yang harus kulakukan dengan Dewiku ‘Uzza? Umar bin Khattab mendengar pertanyaan Abu Sufyan karena dia berada di sebelah tenda Nabi. Umar menjawab Abu Sufyan dengan suara keras penuh ejekan, “Kami akan buang hajat di atas Dewi itu.” Abu Sufyan berkata, “Hati²lah kau Umar. Kau adalah orang keji. Biarkan aku bersama dengan saudara sepupuku, karena dengan dialah aku berbicara” (ibid: 481, mengutip Ibn Hisyam, hal 99).
[22] Syahada adalah pengakuan “aku bersaksi tiada illah lain selain Allâh, dan Muhammad adalah Rasul Allâh.”
Sebelum kembali ke Mekah, Abu Sufyan ingin menyelamatkan masyarakat Quraish dari pembantaian oleh tentara Muslim yang bergerak mendekat. Karenanya, dia meminta paman Nabi yakni al-‘Abass untuk menghadap Muhammad untuk menjamin keselamatan masyarakat Mekah. Nabi menjawab permintaan ini sebagai berikut, “Siapapun yang masuk rumah Abu Sufyan akan selamat, siapapun yang menutup pintu rumahnya dan diam di dalam rumahnya akan selamat, dan siapapun yang masuk Mesjid suci akan selamat” (ibid: 481). Dengan demikian, sewaktu pasukan Muslim masuk Mekah, kota itu tampak kosong. Nabi langsung mengunjungi Ka’bah dan memerintahkan penghancuran patung² berhala di sekitarnya. Selain itu, dia memerintahkan pembunuhan beberapa pria dan wanita yang dulu menyakiti hatinya ketika dia masih tinggal di Mekah (ibid: 487). Sesuai dengan perintah Nabi, orang² ini tidak boleh diampuni, “bahkan jika mereka kedapatan bersembunyi di balik tirai² Ka’bah” (ibid). Akan tetapi, karena beberapa orang diampuni atas permintaan sahabat Nabi.
Menurut al-Qimni, belas kasihan Nabi terhadap masyarakat Quraish di Mekah mengejutkan umat Muslim, terutama Muslim Ansar atau “pembantu²nya” dari Medina.
Dengan demikian, Muslim Ansar terkejut, dan masyarakat Quraish pun terkejut, ketika mereka melihat Nabi menahan tangan² Muslim Ansar terhadap masyarakat Mekah, dan menahan tangan orang² terhadap satu sama lain, mengumumkan kesucian Ka’bah untuk selamanya, membebaskan masyarakat Quraish tanpa syarat, dan boleh beribadah semua agama di Mekah, bahkan juga menghormati dan mengakui kesucian Batu Hitam (ibid: 489, mengutip Ibn Hisyam, hal. 94-95).
Setelah menaklukkan Mekah tanpa pertumpahan darah, Nabi kembali ke ibukotanya yakni Medina, dan di sana dia terus mengirimkan Sariha-nya atau “penyerangan militer Islam” untuk menyerang suku² Arab lainnya dan memaksa mereka tunduk dengan pedang di bawah kekuasaan negara Islam. Dengan begitu, suku² Arab tak punya pilihan kecuali bergabung dengan negara Islam yang kuat dan menyelamatkan nyawa mereka dari ancaman bunuh tentara Muslim, danjuga menyelamatkan wanita² mereka agar tidak jadi Sabaia atau “tawanan perang wanita sebagai bagian dari jarahan perang.” Karena itulah tahun penaklukkan Mekah dikenal sebagai tahun pelaksanaan (ibid: 543). Banyak suku² Arab yang mengirimkan wakil² mereka untuk menyatakan ingin bergabung dengan negara baru Islam dan memeluk Islam. Al-Qimni menyimpulkan dalam bukunya Hurub Dawlat Al Rasul (Peperangan Negara Nabi) melalui perkataan Nabi yang dikatakannya di hari² menjelang kematiannya, “Allâh memberikan kemenangan² bagiku melalui teror (usaha membuat takut), dan memberikan padaku harta² jarahan perang” (ibid: 553, mengutip dari Ibn Kathir, hal. 197).
Bab 3 – Peperangan di Masa Awal Negara Islam
Jumlah peperangan di masa awal Negara Islam adalah banyak. “Ibu dari Segala Sumber Literatur Islam” menjabarkan dengan detail setiap perang. Untuk menghindari detail² mengerikan, maka kucantumkan daftar perang keji yang dilakukan Muhammad dan umatnya. Muhammad berkata, “Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang² sampai mereka berkata “tiada illah lain selain Allâh dan Muhammad adalah Rasul Allâh”, melakukan sholat, dan bayar zakat. Jika mereka melakukan itu, maka nyawa dan harta mereka selamat.” (Sahih Muslim, #0033, dan Sahih al-Bukhari, volume 1, #387).
Ini adalah isi surat Nabi Muhammad pada Julanda bersaudara yang disampaikan oleh utusan Nabi yakni ‘Amr bin al-‘As al-Sahmi dan Abu Zaid al-Ansari:
Damai beserta dia yang mengikuti jalan yang benar! Aku memanggil kau untuk memeluk Islam. Terimalah panggilanku, dan kau tak akan dilukai. Aku adalah Rasul Allâh bagi umat manusia, dan dunia harus bebas dari para pengacau. Jika kau menerima Islam, aku akan beri kau kekuasaan. Tapi jika kau menolak Islam, kekuasaanmu akan hilang, kuda²ku akan bertambat di daerahmu dan nubuatku akan terjadi terhadap kerajaanmu.
• 623 – Perang al-Nakhala
• 623 - Perang Waddan
• 623 - Perang Safwan
• 623 - Perang Dul-Ashir
• 624 - Muhammad mulai menyerang kafilah², suku² Arab dan Yahudi
• 624 - Perang Badr
• 624 - Perang Bani Salim
• 624 – Perang Zee Amr
• 624 - Perang Bani Qainuqa
• 624 - Perang Sawiq
• 624 - Perang Ghatfan
• 624 - Perang Bahran
• 625 - Perang Uhud
• 625 – Perang Dumatul Jandal.
• 625 - Perang Humra-ul-Asad
• 625 - Perang Banu Nudair
• 625 - Perang Dhatur-Riqa
• 626 - Perang Badru-Ukhra
• 626 - Perang Banu Mustalaq
• 627 – Perang Parit/Khandaq
• 627 - Perang Ahzab
• 627 - Perang Bani Quraiza
• 627 - Perang Bani Lahyan
• 627 - Perang Ghaiba
• 627 - Perang Khaibar
• 628 – Perang Humain.
• 628 - Muhammad menandatangani Perjanjian Hudaybiyah dengan suku Quraish.
• 630 - Muhammad menaklukkan Makka.
• 630 - Perang Hunayn
• 630 – Usaha menyerang Tabuk
• 632 - Muhammad wafat
• 632 - Abu-Bakr, Kalifah pertama, bersama dengan Umar, Kalifah kedua, meneruskan penyerangan militer untuk menaklukan Arabia di bawah Islam.
• 633 - Perang Oman
• 633 - Perang Hadramaut
• 633 - Perang Kazima
• 633 - Perang Walaja
• 633 - Perang Ulleis
• 633 - Perang Anbar
• 634 - Perang Basra
• 634 - Perang Damascus
• 634 - Perang Ajnadin
• 634 - Kalifah Abu Bakr wafat. Umar Ibn al-Khattab jadi Kalifah kedua
• 634 - Perang Namaraq
• 634 - Perang Saqatia
• 635 - Perang Jembatan
• 635 - Perang Buwaib
• 635 - Penaklukan Damascus
• 635 - Perang Fahl
• 636 - Perang Yermuk
• 636 - Perang Qadsiyia
• 636 - Penaklukan Madain
• 637 - Perang Jalula
• 638 - Perang Yarmouk
• 638 – Tentara Muslims menaklukan tentara Romawi dan masuk ke Yerusalem
• 638 - Penaklukan Jazirah
• 639 - Penaklukan Khuizistan dan Usaha Menyerang Mesir
• 642 - Perang Sinar di Persia
• 643 - Penaklukan Azarbaijan
• 644 - Penaklukan Fars
• 644 - Penaklukan Kharan.
• 644 - Umar dibunuh. Uthman Ibn ‘Affan jadi Kalifah ketiga
• 647 - Penaklukan pulau Cypress
• 648 – Perang terhadap Byzantium
• 651 – Perang Naval melawan Byzantium.
• 654 - Islam menyebar ke Afrika Utara
• 656 - Uthman dibunuh. Ali jadi Kalifah keempat
• 658 - Perang Nahrawan
• 659 – Perang Mesir
• 661 - Ali dibunuh
• 662 - Mesir jatuh dalam kekuasaan Islam
• 666 - Sisilia diserang Muslim
• 677 - Pengepungan atas Constantinople
• 687 - Perang Kufa
• 691 - Perang Deir ul Jaliq
• 700 - Perang Afrika Utara
• 702 - Perang Deir ul Jamira
• 711 – Muslim menyerang Gibraltar
• 711 – Penaklukan Spanyol
• 713 - Penaklukan Multan
• 716 - Perang Konstantinopel
• 732 - Perang Tours di Perancis
• 740 - Perang Nobles.
• 741 - Perang Bagdoura di Afrika Utara
• 744 - Perang Ain al Jurr.
• 746 - Perang Rupar Thutha
• 748 - Perang Rayy.
• 749 - Perang Isfahan
• 749 - Perang Nihawand
• 750 - Perang Zab
• 772 - Perang Janbi di Afrika Utara
• 777 - Perang Saragossa di Spanyol
PEPERANGAN NEGARA NABI SETELAH KAFILAH UTHMAN [23]
[23] Timeline of Islamic History, 7th Century, “Wikipedia” Answers.com
http://www.answers.com/topic/timeline-o ... th-century
• 656 - Uthman dibunuh. Ali ibn Abi Talib menjadi Kalifah keempat.
• 656 - Perang Onta. (Tentara Ali vs. tentara Aisyah).
• 657 - Ali memindahkan ibukota dari Medina ke Kufa di Iraq, 170 km sebelah selatan Baghdad.
• 657 - Perang Siffin
• 658 - Perang Nahrawan.
• 659 - Mesir ditaklukkan oleh Muawiyah I.
• 660 - Ali menguasai kembali Hijaz dan Yemen dari kekuasaan Muawiyah.
Muawiyah I mengumumkan sebagai Kalifah di Damascus.
• 661 - Ali dibunuh. Digantikan oleh anaknya Hasan bin Ali dan pengikutnya. Muawiyah jadi satu²nya Kalifah.
• 662 - Muslim Kharijit memberontak
• 666 - Penyerangan atas Sicily
• 670 - Maju terus ke Afrika Utara. Uqba bin Nafe menemukan kota Qairowan di Tunisia. Penaklukan atas Kabul.
• 672 - Penaklukan kota Rhodes. Penyerangan atas Khurasan.
• 674 - Tentara Muslim menyebrang ke Oxus. Bukhara menjadi negara kapal.
• 677 - Penaklukan Samarkand dan Tirmiz. Pengepungan atas Konstantinopel.
• 680 - Muawiyah wafat. Yazid I jadi Kalifah.
• 680 - Perang Karbala dan Husayn bin Ali dibunuh.
• 682 - Dari Afrika Utaram Uqba bin Nafe menyebrang samudra Atlantis dan diserang tiba² dan dibunuh di Biskra. Muslim meninggalkan Qairowan dan mundur ke Burqa.
• 683 - Yazid wafat. Muawiya II jadi Kalifah.
• 684 - Abd Allah ibn Zubayr mengumumkan diri sebagai Kalifah di Mekah. Marwan I jadi Kalifah di Damaskus. Perang Marj Rahat.
• 685 - Marwan I wafat. Abd al-Malik jadi Kalifah di Damaskus. Perang Ain ul Wada.
• 686 - Mukhtar mengumumkan diri sebagai Kalifah di Kufa.
• 687 - Perang Kufa antara pasukan Mukhtar and Abd Allah ibn Zubayr. Mukhtar dibunuh.
• 691 - Perang Deir ul Jaliq. Kufa jatuh ke tangan Abdul Malik.
• 692 - Mekka jatuh. Kematian ibn Zubayr. Abdul Malik jadi satu²nya Kalifah
• 695 - Muslim Kharijite memberontak di Jazira dan Ahwaz. Perang
Karun. Penyerangan atas Kahina di Afrika Utara. Tentara Muslim lagi² mundur ke Barqa. Tentara Muslim memasuki Tranoxiana dan menduduki Kish.
• 700 - Penyerangan terhadap kaum Berber di Afrika Utara.
• 711 - Muslim mulai menaklukan Sindh di Afghanistan.
• 717 - Muslims berusaha menguasai ibukota Byzantium dan gagal.
• 732 - Di Perang Poitiers, serangan Islam ditahan di Perancis, tapi terus masuk ke Asia dan Afrika.
Bab 4 – Kalifah Abu Bakr Al-Sidiq
Abu Bakr merupakan Kalifah pertama yang menggantikan Muhammad. Dia adalah ayah dari Aisyah, istri favorit Nabi Muhammad. Al-Qimni menulis tentang Abu Bakr dalam bukunya yang berjudul: Shukran … Ibn Laden (Terima kasih … Ibn Laden), di bawah artikel yang berjudul “Murtad dalam Islam.” Dia ingin membuktikan bahwa aturan murtad adalah hasil karangan Kafilah pertama Abu Bakr untuk menyingkirkan para saingan politiknya yang menentang kepemimpinannya. Para Muslim ahli Islam jaman sekarang bersikeras bahwa aturan murtad sah berdasarkan hadis Sahih Al-Bukhari, dengan demikian Abu Bakr hanyalah mengikuti apa yang ditetapkan Nabi, yakni membunuh Muslim yang murtad meninggalkan Islam. Dalam artikel ini, al-Qimni membantah pandangan itu.
Sumber pertama bagi para ahli Islam adalah hadis di mana Nabi berkata, “Siapapun yang meninggalkan agamanya, bunuh dia” (Qimni 2004:202). Ini adalah hadis Sahih Bukhari [24] dan merupakan hadis terpercaya bagi umat Muslim dan para ahli Islam. Sumber kedua adalah kisah di mana para sahabat Nabi membunuh seseorang yang meninggalkan Islam. ‘Umar Ibn Al-Khatab protes terhadap pembunuhan itu karena para sahabat tidak memberi makan orang tersebut selama tiga hari dan tidak memintanya untuk kembali memeluk Islam sebelum mereka membunuhnya. Sumber ketiga, yang bahkan lebih dipercaya para ahli Islam adalah Perang Murtad yang terkenal di mana Abu Bakr sebagai Kalifah Pertama memerangi beberapa suku Arab yang tidak mau bayar zakat setelah kematian Nabi. Al-Qimni mempertanyakan ketiga sumber ini dan juga mempermasalahkan penafsiran baru akan murtad yang diciptakan para ahli Islam dari Pusat Riset Islam Universitas Al-Azhar.
Tafsir Baru Murtad
Beberapa ahli Islam Al-Azhar yang terkenal dan terpandang mengeluarkan anjuran baru akan hukum murtad dalam Islam. Menurut anjuran ini, jika seorang Muslim murtad dan meninggalkan umat Islam maka nasibnya terserah pada walinya. Jika kemurtadannya tidak membahayakan umat Muslim maka walinya harus selalu memintanya bertobat sepanjang hidupnya dan karenanya dia tidak usah dibunuh. Tapi jika kemurtadannya membahayakan umat Muslim maka walinya diperbolehkan untuk membunuhnya (ibid: 199)
Penafsiran murtad yang baru ini bertentangan dengan aturan klasik Hudd [125] tentang murtad yang disetujui oleh semua aliran Islam. Berdasarkan Syariah Islam, Muslim melakukan murtad jika dia meninggalkan Islam dan memeluk agama lain. Murtadin harus diberi waktu tiga hari untuk bertobat dan dibunuh di hari keempat. Dalam penafsiran lama, murtadin diberi waktu tiga hari untuk bertobat dan kembali memeluk Islam dan jika tak mau maka akan dibunuh di hari keempat. Tapi dalam penafsiran baru terdapat dua jenis tindakan murtad dan masing² jenis mendapat penanganan yang berbeda. Dalam kasus pertama: Muslim meninggalkan Islam dan memeluk agama lain tapi tindakannya tidak membahayakan Islam dan umat Muslim sehingga walinya tidak perlu membunuhnya. Tapi jika murtadin membahayakan Islam dan umat Muslim, maka walinya harus membunuhnya. Bagi Qimni, penafsiran baru oleh ilmuwan Al-Azhar ini bertujuan untuk menyingkirkan para pemikir liberal sekuler di Mesir dan menghalalkan pembunuhan atas Faraj Foda.
Sumber aturan murtad pertama berasal dari Sahih Bukhari yang “dianggap sebagai buku Islam yang paling dipercaya setelah Qur’an” (ibid:202). Al-Qimni menolak hadis ini atas beberapa alasan. Pertama, jika memang betul Nabi yang mengatakan isi hadis itu maka mengapa Kalifah Abu Bakr tidak menyinggung hal ini tatkala ‘Umar Ibn Al-Khattab dan beberapa sahabat Nabi lainnya tidak setuju dengan keputusan Abu Bakr melakukan Perang Murtad? (ibid: 205). Terlebih lagi, jika hadis itu memang benar² ada mengapa para sahabat tersebut berani menentang perintah Nabi bunuh murtadun? Dari pemikiran ini, Qimni mengambil kesimpulan bahwa isi hadis ini hanyalah hasil karangan di masa selanjutnya. Qimni juga menolak sumber kedua yang berdasarkan kisah ‘Umar, dengan alasan yang sama.
Tentang Peperangan Murtad di jaman Kalifah Pertama Abu Bakr, ‘Umar Ibn Al-Khattab berkata, “Kekalifahan Abu Bakr merupakan suatu kesalahan, semoga Allâh melindungi umat Muslim dari kejahatan kekalifahan tersebut dan jika ada orang lain yang mencoba mengulangi kesalahan kekalifahan itu, maka dia harus dibunuh” (ibid: 213). Tampaknya, ‘Umar menentang tindakan Abu Bakr membunuhi masyarakat suku² Arab yang menolak kepemimpinannya dan caranya dia dipilih jadi Kalifah pertama. Menurut Qur’an, pemilihan pemimin harus dilakukan melalui Shura (setiap suku ditanyai pendapatnya dan harus mendapatkan persetujuan mereka). Sewaktu Abu Bakr jadi Kalifah pertama, banyak suku² yang tidak diberitahu dan mereka yang menolak dituduh sebagai murtad dan lalu dibunuh. Al-Qimni menyinggung satu kejadian di mana ketua suku² Khazrig yang sangat tua dan tidak bisa jalan lagi, tidak mau mengakui kekalifahan Abu Bakr. ‘Umar jadi jengkel terhadap ketua suku tersebut dan menginjak tubuhnya sewaktu dia berbaring di lantai saat berbicara bersama ‘Umar dan Abu Bakr. Ada pula pemimpin lain yang menolak mengakui kekalifahan Abu Bakr dan melarikan diri ke Syria. Abu Bakr mengirim seseorang untuk membunuhnya. Beberapa sumber Islam lain mengatakan bahwa jin telah membunuhnya karena dia buang air kecil di sebuah tembok dan berdiri di atas kaki jin itu. Al-Qimni mengatakan banyak Muslim ahli Islam jaman sekarang yang masih percaya cerita takhayul seperti itu.
Menurut al-Qimni, peperangan yang dikobarkan Abu Bakr bertujuan untuk menundukkan suku² Arab yang tidak mau menerimanya sebagai Kalifah setelah kematian Nabi karena mereka tidak diminta pendapatnya terlebih dahulu dan karenanya mereka berhenti bayar zakat. ‘Umar dan beberapa sahabat protes terhadap peperangan ini karena masyarakat suku² tersebut masih Muslim dan membunuh mereka tentunya bertentangan dengan Hadis Nabi di mana dia mengatakan “Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang² sampai mereka mengaku tiada illah lain selain Allâh dan Muhammad adalah Rasul Allâh” (ibid: 214). Selama Perang Murtad, para tentara Kalifah “melakukan perbuatan kriminal mengerikan karena menenggelamkan para Muslim di dalam sumur², mendorong mereka dari gunung² yang tinggi, dan membakar yang lain dengan api” (ibid). Al-Qimni mengisahkan bagaimana komandan tentara Islam yakniKhalid Ibn Al-Walid, salah satu orang yang dijanjikan surga oleh Nabi, telah membunuh ketua suku Kana’a karena memiliki istri yang cantik jelita. Ketua suku dan masyarakatnya memberitahu Khalid bahwa mereka adalah Muslim. Untuk membuktikan bahwa mereka beriman pada Islam, mereka memberitahu Khalid bahwa mereka baru saja melakukan sholat maghrib. Khalid memerintahkan mereka untuk menyerah dan meletakkan pedang² mereka dan berjanji untuk negosiasi setelah itu. Ketika masyarakat Kana’a telah menyerah, Khalid memerintahkan tentaranya untuk membunuh mereka. Menurut al-Qimni, tujuan Khalid membunuh ketua suku Kana’a adalah karena dia menginginkan istrinya yang cantik. Khalid meniduri wanita ini di malam yang sama Khalid membunuh suaminya dan ini berarti dia melanggar Qur’an karena dia tidak menunggu masa ‘Ida (tiga bulan dan sepuluh hari). Ketika Khalid kembali ke Medina, ‘Umar menemuinya dan berkata padanya, “Kau telah membunuh Muslim dan mengambil istrinya. Aku bersumpah demi Allâh aku akan merajam kamu sampai mati” (ibid: 217). Akan tetapi, Kalifah Abu Bakr tidak menganggap Khalid berzinah dan karenanya Khalid tidak perlu dirajam. ‘Umar tidak menerima keputusan Abu Bakr dan berkata pada Khalid, “Kau adalah musuh Allâh karena kau telah membunuh seorang Muslim dan memperkosa istrinya” (ibid).
Bagi al-Qimni, orang² seperti Khalid dan Abu Bakr tidak layak dihormati karena pelanggaran² yang mereka lakukan. Al-Qimni lalu menjelaskan bahwa sejarah peperangan ini lalu dipalsukan dan diajarkan pada anak² sekolah sebagai peperangan yang benar (ibid 219). Peperangan ini merupakan peperangan politik dan bertujuan untuk memaksa suku² Arab mengakui Kalifah Abu Bakr, yang sebenarnya dipaksakan pada mereka. Dengan begitu, Muslim manapun yang protes terhadap kepemimpinan Abu Bakr lalu dituduh sebagai murtadin dan layak dibunuh, istrinya dirampas, uangnya dirampok, dan anak²nya dijual sebagai budak di pasar budak (ibid 248). Keputusan Abu Bakr ini “sangat mengerikan dan merupakan hukum teroris yang sampai hari tetap berlaku di Syariah Islam dengan merampas iman orang², mencekik leher² mereka, mempermalukan wanita² mereka, menghancurkan kehormatan mereka, memperbudak anak² mereka, dan merampas uang dan kekayaan mereka” (ibid: 250). Tiada ahli Muslim yang berani mengatakan pada para Muslim bahwa “para sahabat Nabi protes terhadap keputusan Kalifah, dan diantara mereka adalah ‘Umar Ibn Al-Khatab meskipun ‘Umar menarik kembali protesnya ketika dia mengucapkan “Aku melihat Allâh meletakkan keputusan dalam hati Abu Bakr dan aku lalu tahu itu merupakan hal yang benar” (ibid:251). Al-Qimni menyimpulkan bahwa, “kebanyakan keputusan dibungkus sebagai perintah illahi untuk menjadi pedang bagi leher para Muslim, padahal keputusan itu dibuat oleh manusia biasa saja. Contohnya, Al-Bukhari memilih sebagian hadis sebagai Sahih dan menolak hadis lainnya karena berdasarkan alasan perasaannya menentukan yang mana hadis yang benar dan yang salah. Dengan demikian, al-Bukhari telah berperan sebagai tuhan dan pengarang buku illahi yang disetujui semua ahli Islam sebagai buku yang paling dipercaya setelah buku Allâh”(ibid).
Penafsiran baru Hukum Murtad oleh ilmuwan Al-Azhar berarti, “dapat mengartikan hasil penyelidikan ilmiah ahli Islam manapun sebagai tindakan kriminal, melarang pemikiran baru apapun, sehingga akal ini tidak boleh berpikir, dan ketika kau melakukan penyelidikan dan mendapatkan kesalahan dalam Syariah, maka kau dengan cepat lalu dituduh murtad dan darahmu jadi halal, hanya karena kau telah menemukan kesalah dari hukum itu dan kesalahan penerapan hukum dan juga hakim pelaku hukum” (ibid: 252). Al-Qimni menunjuk pada tiga peristiwa baru² ini di mana para ahli Islam menggunakan Hukum Murtad untuk mencegah para pemikir Islam mengulas pandangan mereka akan Islam.
Kejadian pertama adalah pembunuhan pemikir liberal Muslim Mesir yakni Dr. Faraj Foda. Salah seorang ahli Islam Al Azhar bernama Dr. Mahmoud Mazroat berkata “siapapun yang mencoba mencegah Syariah Allâh dan ingin menerapkan hukum buatan manusia adalah seorang murtad dan halal bagi umat Muslim untuk memilih siapapun untuk melaksanakan Hudd bagi murtadin tersebut” (ibid: 208). Karena Fatwa ini dan banyak Fatwa lainnya yang dikeluarkan para ahli Al-Azhar, Dr. Faraj Foda dibunuh di tahun 1992 oleh sekelompok Muslim fanatik.
Kejadian kedua terjadi pada diri al-Qimni sendiri. Sebuah Fatwa dari editor koran Islam The Truth (Kebenaran) dikeluarkan bagi al-Qimni di tanggal 8 Mei, 1999. Fatwa ini menyatakan, “Dr. Sayyid Al-Qimni berani menciptakan keraguan akan kewajiban Syariah atau kepercayaan yang penting dalam Islam yang tidak akan diragukan oleh Muslim manapun, kecuali jika orang itu adalah murtadin. Dia menyangkal Sunnah Nabi dan orang yang berani menyangkal hal itu adalah Kafir dan hal ini disetujui oleh berbagai ahli Islam” (ibid: 209). Karena Fatwa ini al-Qimni mengalami banyak penindasan dan penyerangan dari pihak hukum, Muslim fanatik, dan para ahli Islam Al-Azhar.
Kejadian ketiga berhubungan dengan ahli Islam Al-Azhar Nasr Hamid Abu Zayd yang berbeda dengan kebanyakan ahli Islam Al-Azhar dalam segala hal. Nasr Hamid Abu Zayd merupakan seorang Mujtahdin (ahli Islam, dipercaya layak menafsirkan Syariah) terbaik diantara para ahli Islam Al-Azhar. Akan tetapi, karena pandangan barunya akan Islam, maka “polisi menyerang rumahnya dan merampas semua tulisan dan penanya karena dianggap berbahaya bagi ketenangan negara Mesir” (ibid).
Al-Qimni menyimpulkan penjelasannya yang panjang lebar tentang murtad dengan mengatakan “berdasarkan apa yang kami ungkapkan, menuduh Muslim sebagai murtadin karena dia menyangkal satu dari kewajiban Islam, merupakan tindakan hukum teror, di tangan teroris, digunakan oleh teroris, dan dilakukan oleh teroris” (ibid: 239). Dengan demikian, al-Qimni menganggap bahwa Hukum Murtad Islam adalah hukum teroris untuk mengontrol dan meneror siapapun yang berani menolak sebagian hukum fundamental Islam dalam Syariah. Pada kenyataannya, banyak pandangan fundamental yang tidak berasal dari Islam karena tidak terdapat dalam Qur’an atau Sunah. Aturan fundamental Islam ini diciptakan oleh para Kalifah dan diterapkan oleh para ahli Islam untuk menghalalkan pembunuhan terhadap siapapun yang tidak setuju dengan mereka. Oleh karenanya, tindakan mereka bertentangan dengan Islam itu sendiri.
Al-Qimni menyalahkan Abu Bakr, Kalifah Pertama, karena tidak mengijinkan Fatima putri Nabi mewarisi kekayaan ayahnya setelah Nabi wafat. Abu Bakr mengaku mendengar Nabi berkata, “Kami para Nabi tidak menyerahkan harta warisan kami pada keluarga kami” (Al-Qimni 2004: 242). Selain Abu Bakr, tiada seorang pun yang mengaku mendengar hadis ini dari Nabi. Jadi satu²nya sumber hadis ini adalah Abu Bakr sendiri. Al-Qimni berkata secara sarkastik bahwa mungkin Abu Bakr mendengar hadis ini ketika dia berduaan saja dengan Nabi dalam sebuah gua. Selain hadis ini, Abu Bakr mengisahkan hadis satu lain yang menghalalkan keputusannya untuk mewarisi tanah² milik Nabi sebelum Nabi wafat. Ketika Ali dan Fatima datang menemui Abu Bakr untuk meminta tanah² milik Nabi sebagai warisan bagi mereka, Abu Bakr mengaku mendengar Nabi berkata, “jika Allâh memberi makan seorang Nabi, Dia menyerahkan makanan bagi orang yang berkuasa setelah Nabi itu” (ibid, hal. 243). Dan orang yang berkuasa setelah Nabi wafat tentunya adalah Abu Bakr. Al-Qimni mengutip perdebatan antara Fatima dan Kalifah Abu Bakr, yang tercantum dalam kitab Tabaqaat dari Ibn Sa’ad [26]:
[26] Kitab Tabaqaat dari Ibn Sa’ad merupakan salah satu tafsir Qur’an, kumpulan Hadis yang paling terpercaya dalam literatur Islam. Ibn Sa’ad hidup di jaman Kalifah² dan pemimpin awal Islam.
Fatima: Siapakah yang mewarisi harta milikmu setelah kau mati?
Abu Bakr: Putraku dan keluargaku.
Fatima: Kalau begitu, mengapa kau mewarisi harta Nabi dan bukan kami yang mewarisinya?
Abu Bakr: Wahai putri Rasul Allâh, aku tidak mewarisi emas dan perak dari ayahmu.
Fatima: Dan bagianmu dari Khaybar dan tanah² milik ayahku.
Abu Bakr: Aku mendengar Nabi berkata, “Kami para Nabi, tidak mewariskan harta kami pada keluarga kami.”
Fatima: Allah telah berkata dalam bukuNya “Sulaiman mewarisi harta Daud.”
Ketika Fatima menyadari bahwa Abu Bakr tidak akan menyerahkan harta Nabi padanya, Fatima datang ke mesjid untuk menghadapi Abu Bakr di depan para Muslim Al-Ansar atau Muslim Medina dan mengucapkan pesan yang panjang lebar dan berakhir dengan kata² “perangi imam² Kafur [27] yang tak beriman sampai mereka tobat” (ibid, hal. 244). Yang dimaksud Fatima sebagai imam² adalah Abu Bakr dan ‘Umar karena mereka tidak mengijinkan Fatima mewarisi harta dan tanah Nabi.
[27] Kafur = kafir, yakni orang² yang tak beriman pada Islam.
Al-Qimni menerangkan bahwa Fatima wafat di usia 30 tahun, hanya enam bulan setelah kematian ayahnya. Fatima tidak pernah mengeluh sakit apapun sebelumnya, dan penyebab kematiannya pun tak diketahui. Karena alasan ini, al-Qimni menduga bahwa Abu Bakr membunuh Fatima sama seperti yang dilakukannya terhadap pemimpin² suku² Arab Muslim yang menentangnya.
====================================
Ini tambahan keterangan tentang pertikaian Fatima dan Abu Bakr berkenaan tentang harta warisan Nabi.
Sahih Bukhari Volume 4, Book 53, Number 325
Dikisahkan oleh Aisyah:
Setelah kematian Rasul Allâh, Fatima putri Rasul Allâh meminta Abu Bakr As-Siddiq untuk memberikan bagian warisannya yang diterima Rasul Allâh dulu sebagai Fai (jarahan perang yang didapat tanpa peperangan karena kafir melarikan diri) yang diberikan Allâh pada Nabi. Abu Bakr berkata pada Fatima, “Nabi suci SAW berkata, ‘Kekayaan kami tidak boleh diwariskan, apapun yang kami (para Nabi) tinggalkan adalah Sadaqa (digunakan jadi sedekah).” Fatima, putri Rasul Allâh jadi marah dan tidak mau lagi berbicara pada Abu Bakr, dan terus berlaku demikian sampai dia mati. Fatimah tetap hidup sampai enam bulan setelah kematian Nabi suci SAW.
Bab 4 – Kalifah ‘Umar ibn al-Khattab
Muhammad wafat sebelum mampu mewujudkan impiannya untuk merampok dan menjarah kekayaan, wanita² dan anak² di luar wilayah Arabia. Pengganti Muhammad yang pertama yakni Abu Bakr juga wafat sebelum bisa mewujudkan impian Nabi. Kalifah Abu Bakr menghabiskan dua tahun masa kekuasaannya untuk menaklukkan suku² Arab yang dituduh murtad dari Islam setelah Nabi wafat. Akan tetapi, di masa Kekalifahan Kedua ‘Umar bin Al-Khattab (10 tahun) dan masa Kekalifahan Ketiga Uthman ibn ‘Affan (13 tahun), dunia non-Arab diserang tentara Muslim dan para sahabat Nabi mewujudkan impian Nabi.
Di masa pemerintahan Kalifah Umar, tentara Muslim menyerang banyak negara dan mencapai daerah Asfahan di Iran sampai Tripoli di Libya.
1. Di tahun 14 H (14 Hijriah = 635 M), Damaskus, Hams, Balabak dan al-Basra diserang dan ditaklukan.
2. Di tahun 15 H (636 M), Yordania diserang dan tentara Muslim mengalahkan tentara Romawi di Perang al-Yarmuk, dan menaklukan Persia di Perang al-Qadisia.
3. Di tahun 16 H, tentara Muslim menyerang al-Ahwaz dan al-Madain di Perang Jawala, dan Kaisar Persia kalah dan melarikah diri di Perang Yazidiger. Di tahun yang sama Takrit di sebelah selatan Irak diserang, dan tentara Muslim juga menyerang Qansarin, Halab, Antakia, Soroog, dan Qirqasa.
4. Di tahun 18 Hijriah, Jawan, al-Rahad, Simisa, Haran, Nasibien, al-Mawsil, dan al-Jazeera diantara Iraq and Syria diserang dan dijarah.
5. Di tahun 19 Hijriah, sebagian tanah kekuasaan Caesar ditaklukan.
6. Di tahun 20 H, tentara Muslim menyerang sebelah barat Mesir dan kota Tastar di Iran.
7. Di tahun 21 H, tentara Muslim menyerang Alexandria di Mesir, Nahawand di Iran, dan Barqah di Libya.
8. Di tahun 22 H, tentara Muslim menyerang Azerbaijan, al-Dinior, Masibzank, Hazan, al-Rai, dan Asker dan Qamwams di Asia Tengah, dan Tripoli di Libya.
9. Di tahun 23 H, Kalifah Umar dibunuh, tentara Muslim menyerang Kerman, Sajistan, Makran, dan Isfahan.
Dalam pertempuran berdarah ini, ribuan kafir dibunuh oleh tentara Muslim. Banyak para wanita yang diperkosa dan banyak anak² yang diperbudak. Banya rumah² yang dibakar, dijarah, dan ribuan keluarga dihancurkan. Para Muslim merampoki dan menjarahi kekayaan daerah² tersebut, membagi-bagi kekayaan, para wanita, dan anak² diantara mereka sendiri. Mereka tidak ingin berkhotbah tentang Islam, tapi hanya ingin merampok, memperbudak, dan memperkosa. Hal ini mengingatkan kita akan perkataan Yesus tentang Setan di mana dia berkata, “Pencuri (Setan) datang hanya untuk mencuri, untuk membunuh dan untuk merusak. Tetapi Aku datang untuk memberi kehidupan dan hidup yang berkelimpahan.” Untuk mengetahui seberapa besar kerusakan dan kehancuran yang dilakukan para Mulsim Mujahidin terhadap negara² yang mereka serang, mari baca keterangan penulis sejarah Islam al-Tabari di buku²nya yang berjilid-jilid banyaknya, yang berjudul al-Tarik atau Sejarah. Salah satu tentara Muslim Arab yang bernama Mahafaz mengisahkan pengalamannya dalam peperangan itu. Di tahun 16 H, dia ikut dalam Perang Jawala di Iran. Dia berkata, “Kami memasuki kota dan aku melihat wanita yang bagaikan seekor kijang dalam kejelitaannya dan wajahnya bercahaya bagaikan matahari. Aku ambil dia dan bajunya dan dia jadi Jariah atau ‘budak wanita’ milikku.” (al-Tabari, volume 4, hal. 26-27).
Tujuan peperangan dan penyerangan ini tidak hanya untuk memperbudak dan memperkosa para wanita di negara² tersebut, tapi juga untuk merampok harta kekayaan. Dalam beberapa tahun saja, para sahabat Nabi jadi begitu kayaraya sehingga kekayaan mereka berjumlah jutaan dinar. Beberapa contoh berikut menunjukkan berapa banyak harta yang dirampas para sahabat Nabi dari negara² yang mereka serang.
1. Ketika Kalifah ketiga Uthman dibunuh, dia memiliki ‘ribuan atas ribuan’ dan lima ratus rib dirham dan seratus ribu dinar. Hal ini sama dengan kekayaan jaman modern jutaan dollar AS.
2. Al-Ziabri ibn al-Awam memiliki harta sebanyak limapuluh dari ribuan atas ribuan dirham dan dua ratus ribu dinar. Selain itu dia punya banyak perumahan di Alexandria, Basra, dan Kufa. Ketika dia mati, dia meninggalkan sebuah taman yang besar yang berharga ribuan atas ribuan dan enam ratus ribu dinar.
3. Abd el-Rahman ibn Awof ketika wafat meninggalkan emas yang dipecah-pecahkannya dengan menggunakan kampak.
4. Sa’ad ibn Abi Waqas meninggalkan harta sebanyak dua ratus dan limapuluh ribu dirham.
5. Ibn Masood meninggalkan harta sebanyak sembilan puluh ribu dirham.
6. Talha bin Abdi Allâh memiliki cincin emas yang bertakhtakan berlian. Nafkahnya sehari-hari datang dari tanahnya di Irak yang menghasilkan uang sebanyak seribu dirham atau empat ratus atau lima ratus dirham setiap tahun. Ketika dia wafat, dia meninggalkan dua ribu dan dua ratus ribu dirham dan dua ratsu ribu dinar. Selain itu, dia memiliki ratusan kendi penuh dengan emas.
7. Umar bin al-A’as meninggalkan harta sebanyak tujuh puluh kendi berisi emas murni. Ketiak dia hampir mati, dia menawarkan emasnya pada putra²nya tapi mereka menolaknya karena yakin harta itu dimiliki melalui cara yang tidak benar.
8. Ketika Zayd wafat, dia meninggalkan emat yang dipotong-potong dengan kampak.
(Tabaqat dari ibn Sa’ad, hal. 53, 76, 77, 157; al-Masoodi dalam buku Murouj al-Zahab, volume 1, hal. 544-545, Khitat al-Maqarizi, volume 1, hal. 140, 564).
Pembunuhan Kalifah ‘Umar
‘Umar seringkali memperingatkan gubernur² Muslimnya untuk tidak mengirim budak apapun atau mualaf manapun ke ibukota negara Islam di Medina. Dia takut bahwa orang² yang kehilangan istri, anak, dan sanak keluarga gara² diserang Muslim akan balas dendam terhadapnya. ‘Umar menyebut orang² non-Arab dengan sebutan ‘Alwoj yang berarti kotor atau najiz. Di dalam setiap suratnya pada para gubernurnya, dia memerintahkan agar mereka menjauhkan para ‘Alwoj dari dia. Meskipun demikian, salah satu ‘Alwoj ini berhasil datang ke Medina dan membunuh ‘Umar dalam usaha balas dendam atas kehancuran keluarganya.
Abu Loloa adalah seorang Persia yang jadi tawanan perang Muslim di kota Nahawand, Persia. Tentara Arab Muslim menghancurkan rumahnya, keluarganya, anak²nya, dan negaranya, padahal masyarakat Iran tidak pernah mengganggu umat Muslim sama sekali. Setelah Abu Loloa kehilangan segalanya, dia dijadikan budak milik majikan Muslimnya yakni al-Muqirah bin Sha’ba. Untuk alasan tertentu, al-Muqirah mengirim Abu Loloa ke Medina. Ketika Abu Loloa masuk Medina, dia sedih sekali melihat anak² Persia dan negara² lain memenuhi jalanan Medina. Dia mencari anak²nya sendiri diantara mereka tapi tak mendapatkannya. Tangisan anak² ini membuat hatinya semakin hancur. Menurut Ibn Sa’ad, “Abu Loloa sering menemui anak² tawanan perang dan dia menangis tiap kali dia melihat mereka dan mengusap kepala mereka dengan tangannya, dan dia berkata, ‘Orang² Arab memakan hatiku.’ Maka dia membunuh ‘Umar atas pembalasan bagi yang dilakukan ‘Umar terhadap para tawanan perang.” (Ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubara, volume 3, hal. 271). Abu Loloa membunuh Kalifah ‘Umar di dalam mesjid saat sholat subuh. Dia berpura-pura jadi Muslim dan masuk mesjid untuk sholat di belakang Kalifah ‘Umar. Saat Kalifah ‘Umar dan umat Muslim sedang berlutut dalam bersholat, Abu Loloa maju dan menusuk mati ‘Umar.
Setelah pendahuluan singkat tentang kepemimpinan ‘Umar, mari kita kembali pada al-Qimni dan apa pendapatnya tentang ‘Umar. Al-Qimni menyalahkan ‘Umar ibn al-Khattab, sang Kalifah kedua, karena melarang apa yang diijinkan dalam Qur’an. Qur’an mengijinkan praktek nikah Muta’a (nikah sementara atau nikah untuk senang² saja) (Q 4:24), tapi Kalifah ‘Umar melarangnya dan mengancam menghukum siapapun yang berani melakukan hal itu (Al-Qimni 2004: 236). Ketika Nabi hampir meninggal, Nabi meminta pengikutnya untuk memberinya sebuah kertas agar dia menulis surat untuk mencegah umat Muslim menyeleweng dari aturan Islam. ‘Umar berkata, biarkan dia sendirian, dia itu gila (ibid) (*). Selain itu, setelah berkuasa ‘Umar terkenal suka menyuruh pengikutnya memata-matai rumah² orang di malam hari.
=================
(*)Adadeh: Keterangan 'Umar menuduh Muhammad xintink ini bisa dilihat pula di sini: Succession to Muhammad (Penggantian Jabatan Muhammad).
Penyakit Muhammad yang Terakhir
Muhammad meminta ijin dari istri²nya untuk boleh menghabiskan hari² terakhirnya bersama istri favoritnya Aisyah dan dia mati dalam keadaan kepalanya berbaring di pangkuang Aisyah. Dikisahkan bahwa sebelum dia mati, Muhammad memberi kepercayaan besar pada Ali dengan meminta Ali memimpin sholat² di mesjid sebagai imam - ini merupakan peranan besar dan penting yang ditunjukkan Muhammad sendiri. Berdasarkan sejarah Islam, imam mesjid selalu merupakan pemimpin umat Muslim; Muhammad meminta sebuah secarik kertas dan pena tapi Umar menolaknya dan mengatakan Muhammad mengalami gangguan di kepalanya.
Keterangan lain akan hal ini bisa juga dilihat dalam berbagai hadis Sahih:
Sahih Muslim Book 013, Number 4016:
Ibn Abbas reported: When Allah's Messenger (may peace be upon him) was about to leave this world, there were persons (around him) in his house, 'Umar b. al-Kbattab being one of them. Allah's Apostle (may peace be upon him) said: Come, I may write for you a document; you would not go astray after that. Thereupon Umar said: Verily Allah's Messenger (may peace be upon him) is deeply afflicted with pain. You have the Quran with you. The Book of Allah is sufficient for us. Those who were present in the house differed. Some of them said: Bring him (the writing material) so that Allah's Messenger (may peace be upon him) may write a document for you and you would never go astray after him And some among them said what 'Umar had (already) said. When they indulged in nonsense and began to dispute in the presence of Allah's Messenger (may peace be upon him), he said: Get up (and go away) 'Ubaidullah said: Ibn Abbas used to say: There was a heavy loss, indeed a heavy loss, that, due to their dispute and noise. Allah's Messenger (may peace be upon him) could not write (or dictate) the document for them.
terjemahan:
Ibn Abbas melaporkan: Ketika Rasul Allâh hampir meninggal dunia, ada beberapa orang di sekitarnya di dalam rumahnya, dan 'Umar bin al-Khattab adalah salah satu dari mereka. Rasul Allâh berkata: Mari, aku akan menulis sebuah keterangan bagi kalian, agar kalian tidak sesat setelah ini. Mendengar itu 'Umar berkata: Sudah jelas Rasul Allâh sangat terganggu karena sakit. Kalian sudah punya Qur'an. Buku Allâh itu sudah cukup bagi kita. Orang² di rumah itu saling berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berkata: Ambilkan alat² tulis agar Rasul Allâh bisa menulis keterangan bagimu dan kamu tidak jadi sesat setelah dia wafat dan sebagian yang lain setuju dengan apa yang dikatakan 'Umar. Tatkala mereka mulai bertengkar di hadapan Rasul Allâh, Rasul Allâh berkata: Pergi kalian. 'Ubaidullah berkata bahwa Ibn Abbas sering mengatakan: Ini merupakan kehilangan yang besar, benar² kehilangan yang besar karena terjadi keributan dan pertikaian itu. Rasul Allâh tidak jadi menulis keterangan bagi mereka.
Sahih Muslim Book 013, Number 4014:
Sa'id b. Jubair reported that Ibn 'Abbas said: Thursday, (and then said): What is this Thursday? He then wept so much that his tears moistened the pebbles. I said: Ibn 'Abbas, what is (significant) about Thursday? He (Ibn 'Abbas) said: The illness of Allah's Messenger (may peace be upon him) took a serious turn (on this day), and he said: Come to me, so that I should write for you a document that you may not go astray after me. They (the Companions around him) disputed, and it is not meet to dispute in the presence of the Apostle. They said: How is he (Allah's Apostle)? Is he talking nonsense? Try to learn from him (this point). He (the Holy Prophet) said: Leave me. I am better in the state (than the one in which you are engaged). I make a will about three things: Turn out the polytheists from the territory of Arabia; show hospitality to the (foreign) delegations as I used to show them hospitality. He (the narrator) said: He (Ibn Abbas) kept silent on the third point, or he (the narrator) said: But I forgot that.
terjemahan:
Sa'id bin Jubair mengisahkan bahwa Ibn 'Abbas berkata: Kamis dan lalu berkata: Apakah sekarang hari Kamis? Dia lalu menangis tersedu-sedu sampai air matanya jatuh membasahi kerikil². Aku berkata: Ibn 'Abbas, memangnya ada apa dengan hari Kamis? Ibn 'Abbas berkata: Penyakit Rasul Allâh jadi tambah parah di hari itu, dan dia berkata: Mari ke sini, agar aku bisa menuliskan padamu sebuah keterangan yang mencegahmu sesat setelah aku mati. Mereka (para sahabat di sekelilingnya) bertengkar, dan seharusnya mereka tidak bertengkar di hadapan Rasul. Mereka berkata: Bagaimana keadaan Rasul Allâh? Apakah dia menceracau (ngomong ngawur)? Coba belajar dari dia sekarnag. Sang Nabi berkata: Tinggalkan aku. Keadaanku lebih baik (daripada keadaan kalian). Aku membuat tiga keinginan: Singkirkan masyarakat pagan dari daerah Arabia; bersikap ramahlah terhadap para utusan asing seperti yang biasa kulakukan. Penyampai kisah berkata bahwa: Ibn Abbas diam saja tentang hal yang ketiga, atau dia (penyampai kisah) berkata: Tapi aku lupa pesan yang ketiga.
Sahih Muslim Book 013, Number 4015:
Sa'id b. Jubair reported from Ibn Abbas that he said: Thursday, and what about Thursday? Then tears began to flow until I saw them on his cheeks as it they were the strings of pearls. He (the narrator) said that Allah's Messenger (may peace be upon him) said: Bring me a shoulder blade and ink-pot (or tablet and inkpot), so that I write for you a document (by following which) you would never go astray. They said: Allah's Messenger (may peace upon him) is talking nonsense.
terjemahan:
Sa'id bin Jubair melaporkan dari Ibn Abbas bahwa dia berkata: Kamis, dan ada apa sih di hari Kamis? Lalu airmatanya berjatuhan sampai membasahi pipinya bagaikan untaian permata. Dia (pengisah) berkata Rasul Allâh berkata: Bawa padaku tulang bahu dan botol tinta (atau meja tulis dan tinta), agar aku bisa menulis keterangan yang bisa diikuti kalian agar kalian tidak sesat. Mereka berkata: Rasul Allâh menceracau (ngomong ngawur).
Peraturan ‘Umar
Ketika tentara Islam menyerang daerah² Kristen seperti Mesir, Yordania, Syria, Palestina, dan Lebanon, Kalifah kedua yakni 'Umar ibn al-Khattab memaksa penduduk daerah itu untuk menandatangani peraturan dengan Pemerintah Muslim yang menjajah mereka:
1. Kami tidak akan membangun dalam kota kami dan lingkungan perumahan kami, biara² baru, gereja² baru, tempat² ibadah baru, dan kami pun tidak akan memperbaiki di siang atau malam hari bangunan² itu jika rusak atau jika terletak di daerah umat Muslim.
2. Kami akan membiarkan pintu pagar kami terbuka bagi orang yang bertamu atau pengelana. Kami akan menyediakan tempat tinggal bagi semua Muslim yang melewati jalanan kami selama tiga hari.
3. Kami tidak akan menyediakan tempat persembunyian bagi mata² yang dicari Muslim di dalam gereja² atau rumah² kami.
4. Kami tidak akan mengajar Qur’an kepada anak² kami.
5. Kami tidak akan menyebarkan agama kami di muka umum atau mengajak siapapun memeluk agama kami. Kami tidak akan menghalangi siapapun anggota keluarga kami memeluk Islam jika mereka menghendakinya.
6. Kami akan menunjukkan rasah hormat pada Muslim, dan kami akan berdiri dari tempat duduk jika Muslim ingin duduk di situ.
7. Kami tidak akan meniru Muslim dalam memakai pakaian, turban, sepatu, atau cara menyisir rambutnya. Kami tidak boleh bicara seperti cara mereka berbicara, dan kami pun tidak boleh meniru cara Muslim memberi julukan hormat (kunya).
8. Kami tidak akan naik pelana, tidak akan mengasah pedang, atau mengenakan atau membawa senjata.
9. Kami tidak akan menorehkan tulisan Arab pada tanda cap/stempel kami.
10. Kami tidak akan menjual minuman beralkohol.
11. Kami akan mencukur bagian depan kepala kami (tanda Arab yang berarti hinaan)
12. Kami akan pakai pakaian dengan cara sama dan akan selalu mengikatkan zunar di sekeliling pinggang kami.
13. Kami tidak akan menunjukkan salib² kami atau buku² kami di jalanan atau di pasar Muslim. Kami akan bertepuk tangan perlahan dalam gereja² kami. Kami tidak akan menangis keras² jika ada anggota kami yang mati. Kami tidak akan menggunakan penerang di jalanan atau pasar Muslim. Kami tidak akan mengubur jenazah kaum kami dekat umat Muslim.
14. Kami tidak mengambil budak yang telah disediakan bagi Muslim.
15. Kami tidak akan membangun rumah yang lebih tinggi daripada rumah² Muslim.
16. (Ketika aku membawa surat ini pada Umar, semoga Allâh berkenan padanya, dia menambahkan, “Kami tidak akan menyerang Muslim.”)
17. Kami menerima keadaan² ini bagi kami dan bagi masyarakat kami, dan sebagai imbalan kami menerima keamanan.
18. Jika kami melanggar peraturan ini, kami kehilangan status dhimmi, dan kami akan dihukum.
19. ‘Umar ibn al-Khattab memerintah: Tandatangani pernyataan mereka, tapi tambahkan dua hal dan tetapkanlah mereka dengan tambahan persyaratan ini: “Mereka tidak boleh menebus siapapun yang dijadikan tawanan oleh umat Muslim,” dan “Siapapun yang menyerang Muslim dengan sengaja akan kehilangan perlindungan yang disetujui dalam perjanjian ini.”
‘Umar Ibn dikenal umat Muslim sebagai sebagai hakim atau penguasa yang paling bijak yang pernah ada di muka bumi. Karena alasan inilah maka dia dijuluki ‘Umar al Faruq yang berarti ‘Umar yang Bijak. Akan tetapi Aturan ‘Umar di atas tidak sesuai dengan julukan itu. Al-Qimni mengutip keterangan Ibn Kathir bagaimana ‘Umar memutuskan masalah tuduhan zinah.
Ini merupakan kasus penting yang menunjukkan bagaimana ‘Umar ibn al-Khattab menerapkan hukum rajam dalam kasus zinah … Kisah ini merupakan kisah sejarah terkenal dalam sejarah Arab. Kisah ini terjadi di tahun 17 Hijriah. Tiada buku Islam yang tidak memuat kisah ini. Tiga sahabat Nabi yang penting yakni Abi Bikra, Nafi ’a bin al-Harith, dan Shibal binMa’abad mengaku di hadapan ‘Umar ibn al-Khattab bahwa mereka menyaksikan al-Mughirah ibn Shu`bahberzinah dengan Um Jamil sewaktu al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal. Para tiga sahabat mengaku melihat perzinahan tanpa rasa malu atau takut. Ketika sahabat Nabi yang keempat yakni Zaiad ibn Shamalah muncul, Kalifah ‘Umar meyakinkannya bahwa dia tidak akan mengecewakan al-Mughirah ibn Shu`bah. Lalu dia menanyakan apa yang dilihat Zaiad.
Dia menjawab, “Aku melihat mereka, dan mendengar dengusan nafas yang kuat, dan kulihat dia telungkup di atas perut dan payudara Um Jamil.”
‘Umar berkata, “Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal?”
Dia menjawab, “Tidak. Tapi aku melihat dia mengangkat kedua kaki Um Jamil dan tubuhnya naik turun diantara kedua kaki Um Jamil. Dan aku melihat dia melakukannya dengan sepenuh tenaga dan aku mendengar dengusan nafas yang keras.”
‘Umar bertanya, “Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal?”
Dia menjawab, “Tidak.”
‘Umar berkata, “Allahu Akbar.[28] Panggil al-Mughirah ibn Shu`bah kemari dan beri ketiga saksi delapan puluh cambukan.” (ibid: 2001, mengutip dari Ibn Kathir, al-Bedyia wa al-Nihaia, hal. 83-84).
[28] Allah Maha Besar
Untuk membuktikan tuduhan zinah dalam Islam, harus ada empat saksi yang mengaku di pengadilan bahwa mereka menyaksikan pelaku melakukan perzinahan. Sebelum istri favorit Nabi yakni Aisyah dituduh berzinah dengan pemuda Muslim tampan Safwan bin Al-Muatal Al-Sulami, perzinahan bisa dibuktikan cukup dengan saksi 2 Muslim saja atau 1 Muslim + 2 Muslimah saja. Akan tetapi, setelah kasus Aisyah dan Safwan, Qur’an lalu menambahkan jumlah saksi jadi 4 Muslim. [29]
[29] Lihat kasus “Aisyah Dituduh Berzinah” di hal. 131 → belon diterjemahin.
Qur’an, Sura An-Nuur (24), ayat 4:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Meskipun demikian, setelah kasus al-Mughirah ibn Shu`bah dan Um Jamil, Kalifah ‘Umar ibn al-Khattab memperkenalkan penggunaan benang sebagai metoda penting dalam membuktikan tuduhan zinah. Jadi, selain harus ada 4 saksi, Syariah menuntut saksi membawa sebuah benang dan memasukkan benang itu diantara tubuh pezinah wanita dan tubuh pezinah pria. Jika benang tidak berhasil melalui kedua tubuh mereka, maka hal ini membuktikan penis pria masuk ke dalam vagina wanita. Beginilah bukti yang diminta Kalifah ‘Umar dari keempat saksi yang memang melihat al-Mughirah ibn Shu`bah dan Um Jamil bersetubuh. Melihat cara ‘Umar menangani kasus zinah ini, apakah ‘Umar itu layak dijuluki sebagai hakim yang paling bijak yang pernah ada di muka bumi?
Bab 6 – Kalifah Uthman Ibn ‘Affan
Uthman merupakan Kalifah ketiga diantara mereka yang disebut umat Muslim sebagai Empat Kalifah Teladan, yakni Abu Bakr, ‘Umar, Uthman, dan ‘Ali. Dalam bukunya yang berjudul Rab Al-Zaman (Tuhan Masa Kini), di bawah artikel yang berjudul “Kita Tidak Boleh Melupakan Sejarah dan Harus Memiliki Hikmat dan Kesadaran”, Al Qimni meluruskan tuduhan yang mengatakan seorang Yahudi bernama Ibn Saba'a membunuh Kalifah Uthman ibn ‘Affan (ibid: 105). Menurut al-Qimni, ibn Saba'a tidak bersalah atas darah Uthman. Kalifah Utham sendirilah yang bersalah atas kematiannya. Al-Qimni bertanya “Jikalau negara Islam itu merupakan negara terhebat di dunia di saat Kalifah ketiga yang telah menerapkan Syariah Islam dan Hudud, dan menegakkan ibadah dan aturan Islam, maka mengapa dia lalu dibunuh?” (Al-Qimni 1996: 105). Al-Qimni menjawab artikel Islam yang diterbitkan di koran Al-Ihram yang menyatakan “pada jaman Uthman, terdapat kekayaan berlimpah-ruah di Medina, sampai² Jariya (budak wanita) dijual dengan jumlah emas yang sama dengan berat badannya” (ibid: 107). Menurut al-Qimni, majikan Jariya yang cantik jelita itu membayar sangat mahal karena mengharapkan wanita itu dapat memuaskannya di ranjang. Akan tetapi, pertanyaan al-Qimni yang terpenting adalah: dari mana emas sebanyak itu dimiliki Muslim? Untuk menjawab pertanyaan ini, al-Qimni berkata, “Emas itu datang dari negara² yang diserang dan dijarah tentara Muslim. Sebelum emas² itu dimiliki majikan Jariya, emas² itu tersebar dalam harga seekor kambing milik petani Mesir miskin, dalam harga gandum milik orang Iraq yang hidup dalam gubug, dalam harga kambing milik orang Syria yang menggembalakan ternaknya di padang rumput” (ibid). Dengan kata lain, tentara Muslim merampoki ternak dan gandum milik para penggembala, petani, dan buruh miskin di negara² yang mereka serang dalam nama Islam. Hasil ternak dan gandum rampokan ini dibawa ke Medina dan dijual dan hasilnya berupa emas yang digunakan untuk membeli Jariya atau budak wanita. Dengan demikian, keringat para petani Mesir, pedagang Irak, dan penggembala Syria dikumpulkan dan dijual dan “dituangkan dalam satu wadah timbangan dan di wadah timbangan lainnya berdiri seorang Jariya yang cantik jelita” (ibid). Buku² sejarah Islam menjelaskan bahwa “salah satu sahabat nabi meninggalkan harta sebanyak lebih dari 5 juta dinar setelah dia mati dan sahabat lainnya meninggalkan emas yang dibagi-bagi dengan kampak.” (ibid).
Kalifah Umar terkenal akan sikap nepotismenya. Dia mengambil harta dari perbedaharaan sosial umat Muslim dan menyogok orang² yang menentang kekuasaannya (ibid). Dia mengirim dua sahabat Nabi – Aba Zar al-Jaifari dan Yasir ibn Amar – ke pengasingan karena keduanya berani menegur kebijaksanaannya (ibid). Sebelum diasingkan, Uthman terlebih dahulu menginjak-injak Yasir dengan kakinya sampai Yasir pingsan. Yasir adalah salah seorang dari orang² Muslim yang dijanjikan surga oleh Nabi. Uthman menunjuk Ibn Abi al-Sarah sebagai gubernur (penguasa) Mesir sedangkan semua umat Muslim pada saat itu mengetahui bahwa ada ayat Qur’an yang menuduh Ibn Abi al-Sarah sebagai kafir. Al-Qimni tidak menyebut apa ayat Qur’an ini, tapi tampaknya dia mengetahui ini dari salah satu tafsir Qur’an. Dalam buku²nya, al-Qimni mengutip penulis² Muslim terkenal dalam Umaha’at al-Kitab al-Islamia atau Ibu dari Segala Sumber Literatur Islam, seperti misalnya Ibn Kathir, al-Tabari, Ibn Sa’ad, Al-Qurtubi, Al-Sira Al-Halabiyah, Sirat Ibn Hisyam, Sahih Al-Bukhari, dan Sahih Muslim. Ketika al-Qimni diajukan ke pengadilan gara² bukunya yang berjudul Rab al-Zaman(Tuhan Masa Kini), pihak penuntut pengadilan tidak bisa menyerangnya karena semua yang ditulis al-Qimni bersumber dari buku² literatur Islam, yang diakui kesahihannya oleh Universitas Al-Azhar.
Kembali pada kisah Uthman, al-Qimni menjelaskan bahwa ketika beberapa orang Mesir datang ke Medina dan mengeluh pada Uthman tentang Ibn Abi al-Sarah, Uthman menghardik mereka dan membunuh salah seorang dari mereka. Uthman juga menunjuk saudara laki tirinya yang bernama Al-Walid Ibn Agaba sebagai gubernur Kufa, padahal umat Muslim sudah mengetahui Al-Walid telah pernah menipu Nabi dan jadi murtadin setelah Nabi wafat. Al-Walid Ibn Agaba sering memimpin umat Muslim sholat di Kufa dalam keadaan mabuk berat (ibid: 109). Kelakuan Al-Walid Ibn Agaba yang tidak Islamiah ini membuat Ibn Al-Ashtar menegur Uthman dengan keras, “Dari Malik Ibn al-Harith pada Kalifah yang korup, berdosa, benci akan Sunnah Nabi, dan diam² menyangkal aturan Qur’an, jauhkan kami dari Walid dan Sa’ad milikmu dan dari siapapun yang kau kirim dari rumahmu pada kami.” (ibid: 108).
Pemberontakan Muslim Mesir dikobarkan oleh Muhammad Ibn Abi Huzifa, Mohammad ibn Abi Bakr al-Sadiq (putra Abu Bakr, Kalifah pertama), dan Yasir ibn Amar (ibid: 109). Ketiga sahabat Nabi ini berangkat dari Medina ke Mesir untuk menggerakkan massa melawan Uhtman. Di samping semua pertentangan ini, Uthman juga mengumpulkan Musahaf atau buku² berbagai versi Qur’an (ibid: 109-110). Terdapat banyak jenis Qur’an di jaman Uhtman, yang masing² berisi berbagai Sura dan ayat² yang berbeda dengan yang lain. Contoh singkatnya, ada Musahaf versi Aisyah, versi Hafsa, dan versi Ibn Masud. Uthman memilih Musahaf milik Hafsa, putri Abu Bakr sang Kalifah pertama, dan membakar semua Musahaf lainnya [30]. Perbuatan Uthman ini menyebabkan “Ibn Masud, yang disebut sebagai sahabat sejati dan tercinta Nabi, protes berat terhadap apa yang dilakukan Uthman pada firman Allâh” (ibid: 110). Sebagai jawabannya, Uthman mengusir Ibn Masud keluar dari mesjid dan memerintahkan pemukulan atas dirinya sampai tulang iganya patah (ibid). Ali bin Abi Talib, sang Kalifah keempat dan suami Fatima (putri Nabi), tidak mau menyerahkan Musahaf miliknya, tapi Uthman merampasnya dengan paksa. Al-Qimni menulis kesimpulan dalam artikelnya dengan pertanyaan, “Apakah peranan Ibn Saba’a dalam hal ini dan siapakah sebenarnya yang melawan Allâh?” (ibid: 110). Apa yang dimaksud al-Qimni adalah kebijaksanaan Uthman yang korup, nepotis, dan tercela menyebabkan dirinya tertimpa bencana, sampai akhirnya dia dibunuh.
[30] Hal ini berhubungan dengan penjelasan al-Qimni tentang Nasikh dan Mansukh.
Bab 7 – Nasikh dan Mansukh
Dalam bukunya yang berjudul Al-Islamiat (Para Islamis), Al-Qimni mulai membahas Nasikh dan Mansukh atau “Aturan Pembatalan” ayat dalam Qur’an dengan menerangkan kisah Ayat² Setan (al-Qimni 2001: 563). Menurut al-Qimni, Nabi Muhammad berharap Allâh tidak mewahyukan firman apapun yang bisa menyebabkan masyarakat Mekah menolaknya. Ketika Muhammad, umat Muslim, dan para pemimpin masyarakat pagan Mekah sedang sholat di Mesjid al-Haram, Muhammad menerima wahyu dari Allâh yang dibacakannya keras² sebagai berikut:
Qur’an, Sura An-Najm, ayat 53: 19-20
[19] Apakah kau telah melihat Lat dan ‘Uzza?
[20] Dan yang lainnya, yang ketiga yakni (dewi) Manat?
Sang Nabi meneruskan wahyunya:
“Mereka adalah dewi² atau pemimpin² ibadah tertinggi dan berkah² mereka diharapkan”
Setelah Muhammad membacakan ayat² ini, “tiada seorang pun yang tetap berada dalam Mesjid, baik Muslim maupun kafir yang tidak bersujud bersama sang Nabi” (ibid). Lalu Muhammad berkata bahwa malaikat Jibril datang dan menegurnya sambil mengatakan padanya bahwa dia melafalkan pada orang² ayat yang tidak diwahyukan Allâh padanya.
Qur’an, Sura Al-Isra’a (17), ayat 73-74
Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
Karena itu, Nabi memperbaiki ayatnya di Sura An-Najm sebagai berikut:
Qur’an, Sura An-Najm, ayat 19-22
[19] Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza,
[20] dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?
[21] Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?
[22] Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
Al-Qimni menjelaskan dengan terperinci reaksi para Muslim dan non-Muslim terhadap ayat² tersebut, yang dikenal pula sebagai ayat² Gharaniq [32]. Akan tetapi, yang lebih terpenting lagi adalah bahwa ayat² ini merupakan ayat² Qur’an, yang dirubah dan diganti oleh ayat² lain dan sebagian ayat² tersebut hilang. Qur’an sendiri mengakui kenyataan tersebut dalam ayat² berikut:
Qur’an, Sura Al-Nahl (16), ayat 101
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Qur’an, Sura Al-Baqarah (2), ayat 106
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Qur’an, Sura Ar-Ra’d (13), ayat 39
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lohmahfuz).
Dengan demikian, ayat² Gharaniq atau ayat² Setan itu dikatakan oleh Nabi karena niatnya sendiri dan juga karena godaan Setan.
Qur’an, Sura Al-Hajj (22), ayat 52
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,
Kisah ayat² Gharaniq dan sebagian ayat² Qur’an yang bertentangan satu sama lain, menyebabkan para Muslim ahli Islam awal menetapkan aturan Nasikh (membatalkan) dan Mansukh (dibatalkan). Terdapat tiga jenis Nasikh dan Mansukh dalam Qur’an:
1. Aturan hukum dari ayat dibatalkan tapi pelafalannya tetap berlaku.
2. Pelafalan ayat dibatalkan, tapi aturan hukumnya tetap berlaku.
3. Aturan hukum dan pelafalan ayat dibatalkan.
(ibid: 570)
1. Aturan hukum sebuah ayat dibatalkan tapi pelafalannya tetap berlaku
Contoh terkenal dari pembatalan jenis ini adalah ayat Rajam dan ayat Menyusui Pria Dewasa. Sebagian besar Muslim ahli Islam setuju bahwa ayat Rajam diwahyukan pada Nabi dan kemudian diambil kembali ke surga. Dikatakan bahwa Kalifah ‘Umar ibn al-Khattab berkata, “Kami dulu sering membaca ayat yang mengatakan jika Al-Syeikh atau orang tua dan Al-Syeikha atau wanita tua berzinah maka rajmalha mereka sampai mati karena kenikmatan yang mereka telah dapatkan … dan jika aku tidak khawatir orang² akan berkata ‘Umar telah menambah ayat Qur’an, tentunya aku sudah mencantumkan ayat itu dalam Qur’an” (ibid: 573). Akan tetapi, ayat² Qur’an yang berkenaan dengan hukum zinah saat ini tidak mengatakan hukum rajam bagi pezinah pria atau wanita.
Qur’an, Sura An-Nisa (4), ayat 15
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Qur’an, Sura An-Nuur (24), ayat 2
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Meskipun demikian, hukum Syairan tetap menetapkan hukuman rajam bagi pria/wanita yang telah menikah jika mereka melakukan zinah, karena ucapan Kalifah ‘Umar.
Ayat tentang menyusui pria dewasa berdasarkan pada laporan Aisyah di mana dia berkata, “Ayat Rajam dan ayat Menyusui Pria Dewasa telah dinyatakan Nabi, dan ketika dia jatuh sakit, kami terlalu sibuk mengurus penyakitnya. Seekor hewan ternak memakan naskah yang berisi ayat² tersebut. Sang Nabi wafat dan ayat² tersebut dulu dibaca sebagai bagian dari Qur’an” (ibid: 580). Pertanyaan yang dianggap al-Qimni sukar untuk dijawab adalah: “Apakah ayat menyusui pria dewasa telah dibatalkan sebelum binatang ternak memakannya, atau apakah ayat itu dipertimbangkan sebagai ayat yang dibatalkan karena ayat itu tidak ditemukan dalam jilid² Qur’an yang dikumpulkan Kalifah ketiga Uthman bin ‘Affan karena seekor binatang telah memakannya?” (ibid: 581). Kisah menyusui pria dewasa disampaikan dalam sebuah hadis oleh Aisyah:
Suatu hari, Sahla binti Suhail datang menemui Nabi dan berkata pada Nabi, “Aku melihat wajah Abi Huzifa (suami Sahla, dan ini berarti Sahla melihat suaminya marah) setiap kali Salim datang ke rumah kami.”
Nabi berkata padanya, “Persilakan dia menetek (menyusui) padamu.”
Sahla berkata, “Bagaimana mungkin aku bisa menyusuinya sedangkan dia adalah pria dewasa?”
Nabi berkata, “Memangnya aku tak tahu bahwa dia adalah pria dewasa?”
Sahla datang lagi pada Nabi di lain waktu dan berkata, “Aku bersumpah demi Allâh wahai Nabi Allâh bahwa aku tidak melihat lagi kemarahan di wajah Abi Huzifa.” (ibid: 580)
Dengan mengikuti nasehat Nabi pada Sahla binti Suhail, “Aisyah sering menyuruh saudara perempuannya yakni Um Kalthum dan anak² perempuan saudara lakinya untuk meneteki (menyusui) lelaki dewasa manapun yang dipersilakan masuk rumah mereka” (ibid). Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin wanita dewasa atau gadis remaja menyusui pria dewasa? Bukankah hal seperti itu bisa membuat pria itu terangsang secara seksual? Dan bagaimana dengan wanita tersebut? Apakah wanita itu bisa tenang² saja saat bibir pria dewasa mengulum putting payudaranya? Menurut al-Qimni, ayat Menyusui Pria Dewasa seharusnya diperlakukan sama seperti ayat Rajam terhadap al-Syeikh dan al-Syeikha (pria dan wanita tua) yang melakukan zinah. Akan tetapi, para Muslim ahli Islam, tanpa alasan yang jelas, mempertahankan hukuman rajam dan tidak mengindahkan aturan para Muslimah menyusui pria dewasa yang dipersilakan datang berkunjung ke rumah mereka. Aturan menyusui pria dewasa terus dilakukan sampai kematian Nabi dan selama itu Aisyah terus melakukannya dan menasehati saudara² dan keponakan² perempuannya untuk melakukan hal yang sama. Sebagian Muslim ahli Islam mengatakan bahwa ayat Menyusui Pria Dewasa ini telah dibatalkan. Tapi pertanyaan al-Qimni berikutnya adalah: kapan, bagaimana, dan oleh siapa ayat Menyusui Pria Dewasa ini dibatalkan? Al-Qimni tidak menerima keterangan bahwa ayat ini dibatalkan, karena tiada pembatalan ayat Qur’an apapun setelah Nabi wafat. Prinsip ini diakui umat Muslim. Sekali lagi, orang tentunya membayangkan bagaimana Aisyah istri favorit Muhammad yang muda dan cantik seringkali menyusui pria² muda dewasa yang dipersilakan datang memasuki rumahnya. Ketika Muhammad wafat, Aisyah masih berusia 18 tahun dan dalam usia semuda ini tentunya Aisyah masih punya hasrat sex.
2. Pelafalan ayat dibatalkan, tapi aturan hukumnya tetap berlaku.
Sebagian Muslim Mujahirin (Muslim Mekah yang ikut hijrah bersama Nabi ke Medinah) seringkali memanggil Nabi langsung dengan namanya saja dan mengunjunginya tanpa diundang atau tanpa bilang terlebih dahulu. Sikap tak sopan ini menjengkelkan Nabi dan dia lalu menggunakan Qur’an untuk mengatasi masalah ini (ibid: 583). Ayat baru menetapkan bahwa Muslim harus bayar jika ingin bertemu dan berbicara pada Nabi (ibid). Al-Qimni menjelaskan bahwa sedekah dalam hal ini berarti uang konsultasi yang harus dibayar kepada Nabi. Kata sedekah juga bisa berarti memberi uang pada orang miskin. Ini ayatnya:
Qur’an, Sura Al-Mujaadalah (58), ayat 12
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Adadeh: → Depag RI menambahkan kata (kepada orang miskin) dalam kalimat pertama: "apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)". Padahal sedekah itu sebenarnyauntuk Nabi Muhammad, dan penambahan kata (kepada orang miskin) itu tentunya mengganti arti ayat.)
Ayat ini membuat para Muslim enggan bertemu dan berkonsultasi dengan sang Nabi. Ketika para Muslim yang ingin tahu mempertanyakan ayat ini, Allâh lalu membatalkan ayat di atas dan menggantinya dengan ayat berikut:
Qur’an, Sura Al-Mujaadalah (58), ayat 13
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat Pedang juga merupakan contoh lain yang membatalkan ayat² lainnya.
Qur’an, Sura At-Taubah, ayat 5
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut Ibn Al-Arabi “semua ayat² Qur’an yang menyatakan pengampunan bagi kafurn dan pencegahan membunuh mereka telah dibatalkan oleh aat pedang … ayat ini telah membatalkan seratus dua puluh ayat” (ibid: 584). Masalah mulai timbul saat Uthman mengumpulkan ayat² Qur’an dan menyusun semua ayat sedemikian rupa sehingga ayat² yang dibatalkan tercampur aduk dengan ayat² yang membatalkan (ibid). Penyusunan ini menimbulkan kebingungan dan kontradiksi dalam Qur’an versi Uthman, yang digunakan sampai hari ini.
3. Aturan hukum dan pelafalan ayat dibatalkan.
Menurut Aisyah, Sura Al-Ahzab terdiri dari 200 ayat ketika Nabi masih hidup, tapi ‘Uthman hanya mengumpulkan 70 atau 71 ayat² saja (ibid: 590). Muslama Ibn Mukhlid berkata, “Katakan padaku dua ayat yang tak tertulis dalam Qur’an dan ketika tiada seorang pun yang dapat memberitahunya, dia lalu melafalkan ‘mereka yang percaya, melakukan hijrah, dan berperang demi Allâh dengan uang dan jiwa mereka; sesungguhnya mereka adalah orang² yang berhasil. Dan mereka yang memberinya tempat bernaung, kemenangan, dan memerangi orang² yang dikutuk Allâh, kepada merekalah tiada jiwa yang mengetahui pahala yang telah disediakan sebagai hadiah atas apa yang telah mereka lakukan’” (ibid: 591).
Untuk membuktikan bahwa Qur’an jaman sekarang tidak lengkap, Al-Qimni mengutip kasus Aisyah yang menyuruh juru tulis Qur’annya untuk menambahkan ayat berikut: “Peliharalah segala salat, dan salat wusthaa dan salat al-asr. Berdirilah karena Allah dengan khusyuk.” (ibid). (Adadeh: Menurut Aisyah, Qur’an, Sura Al-Baqarah (2), ayat 238) tidak lengkap karena tidak mengandung kata ‘salat al-asr’. Keterangan ini diambil dari kumpulan hadis sahih Jami‘ At-Tirmidhi – oleh Imam Hafiz Abu ‘Eisa Mohammad Ibn ‘Eisa At-Tirmidhi [Darussalam Publishers & Distributors, Edisi pertama: November 2007], ahadith diedit dan diperiksa oleh Hafiz Abu Tahir Zubair ‘Ali Za’i, diterjemahkan oleh Nasiruddin al-Khattab (Canada), diperiksa terakhir kali oleh Abu Khaliyl (USA), Volume 5, dari hadis nomer 2606 sampai 3290, Bab 2. Tentang Surat Al-Baqarah, hal. 302-303).
Taha Husyein berkata tentang hal ini “Qur’an diwahyukan dalam tujuh huruf (dialek) saja [33], dan ‘Uthman mengurangi apa yang ingin dikuranginya dalam Qur’an dan membakar apa yang ingin dia bakar dari Qur’an. Dengan begitu “Uthman mengurangi ayat² yang telah diwahyukan Allâh dan membakar versi² Qur’an yang mengandung ayat² yang dipelajari umat Muslim dari sang Nabi. Imam Uthman tidak seharusnya menyembunyikan satu pun ayat Qur’an atau menghapus ayat² dari Qur’an.” (ibid).
[33] Dalam konteks ini, Al-Qimni mengutip buku Taha Husyein yang berjudul Fi al-Shi’ir al-Jahili (Pre-Islamic Poetry) yang diterbitkan di tahun 1926. Husyein tidak mengikutsertakan huruf² Arab yang mencantumkan tanda titik dan koma karena Abu Al-Aswad Al-Dwali merupakan ahli Islam pertama yang menambahkan tanda titik koma pada huruf² Qur’an, Sabawai menambahkan tanda tanya/tanda seru dalam ayat² Qur’an, dan Al-Nabiqa Al-Zibiani menerapkan aturan tatabahasa Arab ke dalam Qur’an.
Menurut Al-Qimni, keberadaan ayat² Nasikh dan Mansukh dalam Qur’an tidak seharusnya dilihat sebagai kontradiksi (bertentangan satu dengan yang lain). Baginya, buku Allâh itu sempurna, lengkap, dan bebas dari kontradiksi. Akan tetapi, sungguh sukar bagi pengamat jeli untuk tidak melihat kontradiksi dalam Qur’an. Contohnya, ketika Nabi hijrah ke Medinah, “situasi dan kondisi membutuhkan adanya ayat² Qur’an yang memerintahkan Muslim untuk memuji-muji bani Israel, nabi² mereka, dan pernyataan Allâh yang memilih mereka di atas bangsa² lain, bahwa Taurat merupakan buku pembimbing yang benar, dan mereka harus mengikuti apa yang tertulis dalam Taurat mereka” (ibid: 588). Akan tetapi sikap bersahabat dengan kaum Yahudi ini berubah karena persekutuan dengan kaum Yahudi sudah tidak dibutuhkan lagi “setelah kemenangan di Perang Badr di mana Muslim mendapatkan banyak senjata, kekayaan, dan kekuatan” (ibid: 589).
Sungguh mengejutkan bahwa setelah peristiwa Badr, Nabi tiba² saja mendapatkan bahwa kaum Yahudi “telah mengganti Taurat yang asli sehingga Muslim wajib untuk membunuh mereka karena telah mengganti ayat² Allâh”(ibid). Al-Qimni melihat perilaku Muhammad yang sama terhadap orang² Kristen “setelah Muslim tidak butuh Abyssinia dan Nagashi lagi, maka ayat² Qur’an pun mulai menyerang dogma² Kristen” (ibid). Ketika umat Muslim masih sedikit dan lemah di Mekah “ayat² bijak Qur’an cocok dengan posisi mereka yang lemah di tengah² masyarakat pagan mayoritas yang memusuhi mereka, dan karena itu pula ayat² Qur’an Mekah mengandung pesan kebebasan beragama dan tak ada paksaan beragama Islam dan hukuman di Hari Kiamat akan ditentukan Allâh” (ibid). Al-Qimni melanjutkan, “setelah hijrah dari Mekah ke Medinah, dan setelah Perang Badr dan berubahnya keadaan umat Muslim dari lemah ke kuat, maka munculah ayat² Nasikh yang membatalkan kemerdekaan beragama dan memerintahkan Muslim untuk memerangi dan membunuhi non-Muslim” (ibid). Al-Qimni berusaha mengatasi masalah kontradiksi ayat² Qur’an melalui penjelasan konteks sejarah mengapa ayat² itu diturunkan atau “asbab al-nuzul”.
Sayyid Mahmoud al-Qimni adalah “penulis progressive dan dosen Universitas Cairo dalam bidang Sosiologi Agama” (The Middle East Media Research Institute, September 27, 2004: 1). Al-Qimni lahir pada tanggal 13 Maret, 1947, di kota Al-Wasita, yang terletak di propinsi Selatan Mesir (Abd al-Gadir, 2 Feb., 2004). Ayahnya adalah Syeikh Mahmoud al-Qimni, lulusan Universitas Al-Azhar. Syeikh al-Qimni adalah orang Azharite yang sangat relijius dan tradisional dan selalu mengenakan pakaian sesuai tradisi lama. Di rumahnya yang besar Syeikh al-Qimni menyelenggarakan perkumpulan ibadah agama seperti ketika dia dulu masih aktif di Al-Azhar. Kebanyakan perkumpulan diselenggarakan di bulan Ramadan. Meskipun Syeikh al-Qimni sangat relijius, dia tetap terbuka terhadap pendapat orang lain. Karena itu pula dia menerima gagasan reformasi Islam dari ahli Islam Mesir bernama Muhammad Abduh.
Putra Syeikh al-Qimni yakni Sayyid dibesarkan di rumah yang penuh nuansa agama Islam. Dia menderita penyakit gangguan jantung sejak kecil (Mahmoud 2001: 1); al-Qimni menjelaskan dalam wawancara dengan Asharif Abd Al-Gadir (2004) bahwa masa kecilnya tidak bahagia karena penyakitnya. Meskipun begitu, dia berhasil lulus dari Universitas A’in Shams di Cairo, dari Jurusan Filosofi. Setelah belajar Filosofi, al-Qimni meneruskan kuliah di Universitas Al-Azhar dan belajar tentang Sejarah Islam. Kekalahan Mesir terhadap Israel di tahun 1967 menjadi titik balik perubahan hidupnya. Dia ingin tahu mengapa Mesir bisa kalah dan hal ini membuatnya membaktikan hidupnya mempelajari Islam dan agama² lain. Dia melakukan penyelidikan akan ilmu ibadah Islam seperti fiqh, filosofi Islam, dan kalam dalam beberapa aliran Islam, tapi dia baru menjadi penulis di tahun 1985. Tulisannya terpusat pada penelaahan dan diskusi kritis akan Islam. Akan tetapi, penyerangan tentara Sadam Hussein (Iraq) terhadap Kuwait di tahun 1991 merubah sikap al-Qimni yang asalnya adalah seorang Nasarit yang percaya akan perlunya kesatuan masyarakat Arab menjadi seorang yang memusatkan perhatian pada kepentingan masyarakat Mesir saja. Dengan kata lain, Mesir sebagai negara harus menggantikan Mesir sebagai negara Arab, begitu pendapatnya. Sejak itu, al-Qimni percaya akan paham dan dogma liberalisme. Meskipun al-Qimni tidak menyatakan dengan tegas, dari wawancara dengan Asharif Al-Abd Al-Gadir dan tulisan²nya yang awal, tampaknya al-Qimni sedang bekerja di Kuwait saat tentara Saddam mengambil alih kekuasaan Kuwait. Banyak orang² Arab yang melarikan diri dari Kuwait, meninggalkan harta dan kekayaan mereka.
Al-Qimni ingin mengetahui penyebab keterbelakangan Mesir. Tentang hal ini dia berkata, “Apa yang paling menggangguku adalah keterbelakangan negaraku dan kekalahan masyarakatku. Setiap proyek yang kutangani bertujuan untuk mencari penyebab mengapa Mesir jadi negara terbelakang dibandingkan negara² beradab tinggi lainnya” (Abd Al-Gadir, Feb., 2004). Pada saat yang bersamaan, dia ingin menulis kembali Sira Nabi (biografi Nabi Muhammad) sesuai dengan perkembangan sejarah saat itu, yang mendasari terbentuknya Negara Politik Islam di jaman Nabi Muhammad. Dia membahas hal ini dalam jilid bukunya yang berjudul al-Islamiat (Paham Islamisme), yang terdiri dari dua buku yakni Al-Hizb Al-Hashmi Wa Tasis Al-Dawla Al-Islamyia (Kelompok Hashmit dan Fondasi Negara Islam) dan Hurub Dawlat al-Rasul (Peperangan di Negara Nabi). Dalam buku²nya yang berjudul Al-Ustora Wa Al-Turath (Dongeng dan Warisan) dan Kisat Al-Khalik (Kisah Penciptaan), al-Qimni menelusuri asal-usul dan akar berbagai dongeng yang akhirnya tercantum dalam agama Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Salah satu proyek yang ditangani al-Qimni saat ini adalah menyusun kembali Qur’an dalam kronologi yang benar. Menurut al-Qimni, Qur’an yang sekarang disusun Kalifah Uthman bagaikan menyusun tembok saja, yakni dimulai dari Sura terpanjang sampai Sura terpendek. Karena penyusunan seperti ini, ayat² Nasikh yang membatalkan jadi berdekatan letaknya dengan ayat² Mansukh yang dibatalkan, dan ayat² bebas beragama tercampur baur dengan ayat² yang membuat Islam sebagai agama wajib dan tak menerima agama lain. Karena penyusunan ini, Muslim pada umumnya tidak mengerti Qur’an tanpa penjelasan dari seorang Mufassir atau penafsir Qur’an. Al-Qimni yakin inilah alasan monopoli tafsir Qur’an oleh sekelompok ahli Islam yang merasa tafsir mereka adalah tafsir yang terbenar. Tafsir lainnya mereka anggap sebagai tafsir kafir. Dalam wawancara dengan Abd al-Gadir, al-Qimni menjelaskan pendapatnya sebagai berikut:
1. Qur’an perlu disusun ulang dan ditinjau dengan lebih seksama.
2. Tiada badan resmi keagamaan (majelis para imam) dalam Islam.
3. Tak ada hukuman murtad dalam Qur’an.
4. Ahli² Muslim ingin menghargai hak² azasi wanita tapi di saat yang bersamaan, mereka menuduh kaum wanita kurang beragama dan bodoh, hal ini jelas merupakan kontradiksi.
5. Konsep Jihad merupakan hal yang rasis dan tidak berlaku lagi di jaman modern.
6. Apa yang dilakukan oleh para Muslim Mujahidin atau pejuang² Islam terhadap negara² yang dulu mereka serang perlu dimaafkan di jaman modern. (Abd al-Gadir 2004:4)
Al-Qimni berpendapat bahwa penjajahan Mesir oleh bangsa Arab harus dianggap sebagai penjajahan orang asing terlama di seluruh dunia (al-Muhsin, 26 Feb., 2004:1). Kemunduran Mesir terjadi karena, menurutnya, Mesir menerima saja penjajahan yang dilakukan bangsa Arab dan malah menyerap budaya Arab. Pandangan al-Qimni ini tentu saja membuat marah para Muslim ahli Islam moderat dan radikal di Mesir. Dalam bukunya yang berjudul Al-Fashun wa al-Watan (Kaum Fasis dan Negara), al-Qimni menjelaskan pandangannya tentang efek dari budaya Arab pada Mesir sebagai berikut:
Terdapat tiga budaya di Mesir, dan tiada satu pun dari ketiganya yang boleh dianggap lebih tinggi dari yang lain. Budaya² ini adalah budaya Mesir kuno, budaya Koptik yang tertulis dalam huruf² Yunani, dan budaya Arab Islam yang berasal dari Arabia. Usaha budaya Arab berkuasa di atas budaya² lain bertentangan dengan prinsip negara Mesir. Siapapun yang ingin budaya Arab berkuasa di Mesir tidak melihat budaya lain Mesir sebagai budayanya sendiri, dan ini berarti dia tidak menganggap dirinya sebagai orang Mesir, tapi sebagai antek penjajah Arab. Karena itu, kami ulangi, pengertian kesatuan umat Muslim selalu diikuti dengan pembatalan kesatuan konsep bernegara, dan lebih jelek lagi, hal ini akan menghancurkan negera itu sendiri. (al-Qimni 1999: 49).
Maka dari itulah, al-Qimni beranggapan bahwa “identitas orang Muslim Mesir haruslah orang Mesir dan bukan orang Afghani atau orang Hijazi, dan identitas orang Kristen Mesir haruslah orang Mesir dan bukan orang America atau Perancis” (ibid). Jika identitas Mesir berdasarkan pada Arabia dan persekutuan Islamiah, maka “orang Muslim Mesir lebih merasa bersaudara dengan Muslim Bosnia dibandingkan dengan orang Mesir Kristen Koptik. Dengan begitu, mencurahkan darah orang Mesir Koptik dianggap halal, dan orang Mesir Kristen Koptik ini dibunuh karena apa yang terjadi terhadap Muslim di Bosnia dan Hursik” (ibid: 51).
Karena pidato yang diucapkan al-Qimni di Pertunjukan Buku Internasional di Cairo pada tanggal 4 Januari, 2004, koran Muslim Bersaudara “al-Akhwan al-Muslimun” berkata bahwa pidato itu dimaksudkan untuk menghancurkan pillar² Islam (“al-Akhwan al-Muslimun”, 1 Januari, 2004:1). Koran ini mengatakan bahwa al-Qimni berkata Muslim yang pertama telah mencuri segala harta benda Mesir dan karenanya Mesir tidak boleh lagi disebut sebagai negara Arab dan negara Muslim lagi. Islam tidak perlu jadi agama resmi Mesir dan Hukum Syariah tidak usah dijadikan dasar utama UUD Mesir. Dalam artikel yang berjudul Buku² Meragukan (Doubtfull Books), di koran al-Watan, Abd Allah al-Samti berkata, “Penulis² seperti Khalil Abd al-Karim, Sa’id al-Ashmawi, Sayyid al-Qimni, al-Sadiq Nihum, and Nawal al-Sa’adawi menginginkan orang untuk percaya bahwa Qur’an tidak diwahyukan berdasarkan perkataan Muhammad” (al-Samti, 15 Maret, 2002: 1). Bagi para penulis ini, Muhammad itu hanya sekedar tokoh besar dan bukan merupakan Nabi terakhir (ibid). Dalam wawancara lain yang diadakan oleh Hala Mahmoud untuk koran “Middle East Times”, pewawancara mengatakan:
Sayyid Al Qimni menelaah sejarah awal Islam dengan keberanian yang tidak pernah ditunjukkan oleh sejarawan Mesir manapun. Dia selamat dari tuduhan murtad atau antek Barat karena dia menggunakan semua sumber yang diakui oleh Al Azhar, tapi banyak dari kesimpulannya yang bisa membuat Nasr Hamid Abu Zayd pucat pasi. Tulisannya² dalam buku² Al Hizb Al Hashimi (Kelompok Hashimit), Al Dawla Al Mohamadiya (Negara Nabi Muhammad), and Hurub Dawlat Al Rasul (Peperangan Negara Nabi), menyelusuri Islam sebagai tekanan politik dan bukan sebagai wahyu illahi, sedangkan bukunya yang berjudul Al Nabi Ibrahim (Nabi Ibrahim) menyatakan penjelasan sekuler atas dongeng² di jaman Nabi² awal (Mahmoud, Middle East Times, hal. 1).
Ketika ditanya oleh Hala Mahmoud apakah dia pernah menghadapi serangan fisik atau verbal dari kelompok radikal Islam, al-Qimni menjawab:
Ya, secara ideologi dan fisik. Pertama-tama hal ini dilakukan oleh Fahmi Howiedy di Al Ahram. Dia berkata aku ini lebih berbahaya daripada Salman Rushdie dalam artikelnya yang berjudul “Pluralisme Tanpa Keluar Batas” di bulan Maret, 1989. Dia menulis, ‘Mereka berbeda dengan buku² Rushdie dalam hal penghinaan, tapi tidak dalam hal pesannya’; buku² itu melukai hal² yang sakral’; dan ‘kita harus menghentikan tulisan² seperti ini.’ Dia hanya menyebut dirikku sebagai SQ tapi dia menyebut judul² bukuku. Empat tahun yang lalu, dalam [img]Al%20Islam[/img] Watan (Islam adalah Sebuah Negara), seorang jendral dari Departemen Kementrian yang bernama Essam Eddin Abdel Azayem menulis, ‘Oh Tuhan, cegahlah siapapun yang seperti orang ini untuk hidup di tanah kami. Mereka menghancurkan agama kami dan melahirkan para kafir.’ Dr. Muhammad Ahmed Al Musayyar di Al Nour, bulan Juli dan Agustus, 1992, menulis ‘Harus ada orang yang membungkam mulut orang ini.’ Di tahun 1989, setelah Howeidy artikel, aku sedang menyetir mobil di kampung Giza di Badrshein ketika seseorang menembakku dengan senapan Kalashnikov. Anak²ku saat itu ada bersamaku. Ini merupakan peringatan. Jika mereka ingin membunuhku, mereka tentu bisa saja melakukannya. (ibid: 11).
Al-Qimni disebut oleh Samir Sarahan sebagai pemikir yang paling provokatif (membangkitkan reaksi) di Mesir karena “tulisan²nya yang menelaah ulang sejarah Nabi” (Sarahan, 5 Feb., 1998: 1). Dalam perdebatan panjang di Radio Al-Jazira dengan radikalis Islam bernama Kamal Habib, Al-Qimni berkata, “Kita berada dalam dasar laut terdalam karena kita mengajarkan anak² kita di sekolah tentang agama Islam dan bahasa Arab saja” (ibid: 15). Dengan kata lain, sistem pendidikan di Mesir dan negara² Arab lainnya hanya menghasilkan orang² yang hanya tahu bagaimana melakukan sholat dan bagaimana berbicara bahasa Arab. Sealin itu, Al-Qimni yakni kurikulum pendidikan di negara² Muslim menghasilkan teroris² (ibid: 11).
Menurut Sayyid Mahmoud Al-Qimni, pemimpin agama Islam di Mesir menuduh berbagai Muslim atau Muslimah sebagai murtadun yang layak dibunuh karena melakukan hal di daftar berikut (di sini al-Qimni mengutip daftar ahli Islam dari Al-Azhar yang bernama Syeik Sabiq):
1. Menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan.
2. Mengumumkan kemurtadan, atheisme, dan mengaku menerima wahyu dari Allâh.
3. Menghina Nabi atau Islam.
4. Menyerang Qur’an dan Sunna.
5. Membuang buku² Hadis atau Fiqh ke tong sampah dan meludahinya.
6. Menyangkal kemungkinan melihat Allâh di Hari Kiamat.
7. Menyangkal kemungkinan adanya siksaan kubur dan mempertanyakan Munkir dan Nakir (dia tidak menyebut Al-Su’aban Al-Aqr’a atau ular botak walaupun ini merupakan hal yang wajib dalam agama).
8. Menyangkal Sirot [34] dan pengadilan Hari Kiamat.
9. Menyatakan tidak percaya pada penyampai cerita dalam hadis.
10. Menyatakan percaya pada penyampai cerita dalam hadis, tapi meragukan hadis tertentu.
11. Mengatakan pada Muslim penafsiran atau pendapat yang tidak pernah didengarnya sebelumnya.
12. Meninggalkan hukum dalam Qur’an dan Sunna dan lebih memilih hukum buatan manusia.
(Al-Qimni 2004: 235).
[34] jembatan kecil yang harus dilalui Muslim di alam baka.
Rab Al-Zaman (Tuhan Masa Kini) dan Kasus Pengadilan
Pada tanggal 18 Agustus, 1997, berdasarkan laporan dari Badan Riset Islam Universitas Al-Azhar (Islamic Research Academy of Al-Azhar University (IRA)) “polisi menyerbu perusahaan² percetakan buku untuk menyita buku Rab Al-Zaman(Tuhan Masa Kini) yang ditulis oleh Sayyid al-Qimni” (Engel 1998: 1). Berhubungan dengan dikeluarkannya UU Darurat di tahun 1981 berkenaan dengan pembunuhan Presiden Anwar Sadat “pihak Jaksa penuntut diperbolehkan untuk menyita material sebelum keputusan pengadilan” (ibid: 3). Akan tetapi, untuk membuat penyitaan ini tampak lebih sah, Jaksa menuntut pertanggunganjawab Al-Qimni di Pengadilan Cairo Utara. Pengadilan diadakan pada tanggal 15 September, 1997, “di bawah pimpinan Pak Salama Selim” (“Riset Sah dan Pusat HAM” (Legal Research and Resource Center for Human Rights) 1998: 1). Laporan ini menyatakan:
Sebuah buku yang ditulis oleh pemikir Islam Sayyid Al Qimni telah disita polisi pada tanggal 16 Agustus, 1997, tanpa perintah dari pihak Pengadilan, setelah para ahli dari Badan Riset Islam Universitas Al-Azhar menetapkan buku ini melanggar hukum dan norma agama. Di tanggal 15 September, pihak Pengadilan membatalkan keputusan tersebut dan mengijinkan penerbitan semua kopi buku Tuhan Masa Kini.
Riset Sah dan Pusat HAM mewakili Pak Al-Qimni di pengadilan[/color] (ibid).
Pihak Jaksa Penuntut bagi keamanan negara meminta Pengadilan melarang penerbitan buku itu “berdasarkan hukum butir 198 Kode Hukum mengenai propaganda dan prejudis melalui tulisan – semua pesan yang menolak agama Islam, berdasarkan laporan dari Badan Riset Islam Universitas Al-Azhar” (ibid). Andrew Hammond memberi komentar tentang buku itu dan sidang pengadilan:
Buku Pak Al-Qimni hanyalah koleksi artikel² yang telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir di berbagai koran² Mesir. Pak Al-Qimni dituduh “menghina agama … Para penuntutnya adalah orang² yang telah berdebat tatap muka melawan Pak Al-Qimni di siaran² TV. Meskipun begitu, sebuah badan khusus dari Al-Azhar yang merupakan badan Sunni paling kolot telah melarang penerbitan buku Sayyid Al-Qimni yang berjudul Rabb Al Zaman (Tuhan Masa Kini) sebagai satu dari 196 lainnya yang dilarang karena mewakili gagasan sekulerisme yang semakin berkembang (Hammod 1997: 1).
Tuntutan terhadap Buku Rabb Al Zaman
Badan Riset Islam Universitas Al-Azhar mengeluarkan tuntutan sebagai berikut terhadap buku Al-Qimni:
1. Buku ini mengandung sarkasme dan hinaan terhadap ulama Islam dan ‘orang yang terbaik yang pernah dikirim pada umat’ (Adadeh: maksudnya adalah Nabi Muhammad) di negara ini.
2. Di hal. 32, berdasarkan Taurat dinyatakan tentang Ibrahim, putranya Ishmael dan Ishak dan putranya Yakub, dan cucu²nya. Ditanyakan pula perihal lain di hal. 32-41 dan membandingkannya dengan kisah dari Taurat.
3. Di hal. 66 dinyatakan bahwa Firaunlah yang membangun Ka’bah.
4. Di hal. 67 dinyatakan bahwa Nabi² berkunjung Mesir dan belajar monotheisme di sana dan berkhotbah tentang monotheisme setelah kembali ke negara masing².
5. Di hal. 80, penulis mengisahkan kisah Senubia (Ratu Tadmor) dan Setan dan hal ini menghina hukum Nabi Sulaiman.
6. Di hal. 84, dia menulis tentang dewa Marduk, yang adalah salah satu berhala yang disembah di Iraq di jaman Abraham, yang merupakan salah satu berhala yang dihancurkan Ibrahim. Pernyataan ini membutuhkan penyelidikan yang seksama.
7. Dia mengatakan di hal. 107 dan 109 beberapa kejadian berkenaan dengan Kalifah Uthman Ibn ‘Affan yang diragukan kebenarannya.
8. Di hal. 111, 112, dan 115, dia menulis hinaan terhadap dua tokoh Islam utama yakni Muhammad al-Ghazali dan Abu Azayem.
9. Di hal. 141-149, dia menghina Syeikh Abdel Sabur Shanin. Di hal. 147-148 dia menyinggung kasus Dr. Nasr Abu Zayd dan sikap Syeikh Shanin terhadap Abu Zayd. Di hal. 151 dia menghina badan hukum.
10. Di hal. 154, dia berkata ‘Umar Ibn al-Khattab telah mengharamkan apa yang dihalalkan bagi wanita dan ibadah haji’ (ibid: 1-2).
11. Laporan menyatakan buku ini menghina Nabi Yusuf dan Kalifah Uthman Ibn ‘Affan (Warr 1997: 2).
Sikap Al-Qimni yang berhati-hati sewaktu menulis buku Al-Hizb Al-Hashimi (Kelompok Hashimit) ternyata tidak cukup untuk menghindarkan dirinya dari serangan Badan Riset Islam Universitas Al-Azhar terhadap bukunya yang lain Rab Al-Zaman (Tuhan Masa Kini). Di buku Al-Hizb Al-Hashimi, dia menggunakan berbagai sumber literatur Islam yang diakui Universitas Al-Azhar dan karenanya para ulama tidak punya cukup bukti untuk melarang buku itu. Akan tetapi di bukuRab Al-Zaman, Al-Qimni tidak hanya mengritik para ahli Islam Al-Azhar, tapi juga mengritik ahadis Nabi Muhammad dan Al-Qur’an.
Keputusan Pengadilan
Keputusan Pengadilan tampaknya ditetapkan berdasarkan sanggahan² Al-Qimni terhadap tuduhan² atas bukunya. Hal ini tampak jelas dari pendapat para pembaca buku itu dan laporan Pengadilan. Sampai sekarang aku belum membaca laporan Pengadilan, tapi aku terus mencoba mendapatkannya untuk mengetahui bagaimana Al-Qimni sukses membatalkan tuntutan atas bukunya. Aku telah menerima sebuah e-mail dari pihak penerbit buku yang mengatakan bahwa buku itu, laporan Pengadilan, dan pembahasan dari media telah dikirimkan padaku di tanggal 23 Mei, 2004. Akan tetapi, aku akan memberikan kesimpulan keputusan Hakim Pengadilan atas buku ini, yang telah diterangkan secara singkat oleh Riset Sah dan Pusat HAM mewakili Pak Al-Qimni di pengadilan.
Tentang tuduhan mengenai cara buku ini mengisahkan Nabi² Yahudi Ibrahim, Ishmael, Ishak, dan Yusuf di hal. 32-42, pak Hakim berkata, “Penulis menyampaikan kritiknya terhadap film yang disutradarai oleh Yusuf Shahin karena penulis menganggap cara film itu menyampaikan keterangan, keadaan, nama² dari Taurat tidak ilmiah dan salah.” (Riset Sah dan Pusat HAM, 1998: 2). Al-Qimni membahas mengenai kakek moyang bani Israel dalam film Yusuf Shahin yang berjudul Al-Muhagir (Para Imigran). Menurut al-Qimni, Yusuf Shahin tidak jujur dalam flimnya karena menyembunyikan fakta bahwa kisah Yusuf dalam film itu bersumber dari Taurat dan bukan dari Qur’an. Kata al-Qimni, “Produser film membuat poster film dalam bahasa Arab yang menyatakan film ini tiada hubungannya dengan kisah Nabi Yusuf, tapi dia juga membuat poster film dalam bahasa Perancis yang menyatakan film ini mengisahkan tentang Keturunan Nabi Yusuf.” (ibid: 32). Ketika tokoh pahlawan film ini masuk Mesir, narator mengisahkan kisah Yusuf, dan ketika tokoh ini meninggalkan Mesir, narator mengisahkan kisah Musa. Tentang pernyataan bani Yahudi tentang nubuat dan Tanah Perjanjian, al-Qimni menulis:
Ada satu negara yang dipilih Tuhan di atas negara² lainnya, terdapat sejumlah Nabi² suci cendekiawan, ayah mereka adalah seorang Nabi dan melahirkan seorang Nabi, dan mereka terus mendapatkan wahyu illahi sewaktu mereka mewarisi tanah Palestina, mereka adalah keturunan terbaik dari kaum terbaik, mereka lebih unggul dalam beribadah suci dibandingkan negara² lain, kakek moyang mereka adalah Ibrahim teman Tuhan, dan ayah² mereka adalah Ishak, dan Yakub yang dijuluki sebagai Israel, dan anak²nya merupakan keturunan terhormat, dan dari mereka munculah Yusuf yang tampan dan menjadi menteri yang mengurus semua harta di Mesir … dan setelah dia munculah Musa Nabi terbesar Israel … lalu Raja Daud dan anaknya Raja Sulaiman, dan Raja ini mendirikan kerajaan besar yang dipuji-puji melalui nyanyian oleh berbagai buku agama dan legenda, dia berkuasa atas para binatang, Al-Hoam, Jinn, dan Al-Afariat (setan), dan di masa pemerintahannya Israel jadi negara terkaya sampai² perak berserakan di jalanan bagaikan pasir (menurut Taurat [35]) dan menurut Islam dia merupakan satu dari empat raja² dunia yang berkuasa dari ujung bumi ke ujung bumi lainnya (ibid: 37-38).
[35] Taurat bagi Muslim adalah Buku yang diwahyukan pada Musa, tapi kadangkala juga berarti Kitab Perjanjian Lama.
Di hal. 41, al-Qimni berkata, “Sebenarnya, jika kita mengukur kebesaran kejayaan Tatmosis ketiga atau Ramses kedua atau Nebukadnezzar, kekuasaan Sulaiman jadi tampak sangat kecil.” Tentang pernyatan ini, Hakim menyimpulkan “dalam riset ilmiah tak ada pelanggaran apapun terhadap para Nabi dan juga terhadap apa yang dikatakan Taurat … Laporan ini tidak berbahaya dan tidak melanggar Islam” (Riset Sah dan Pusat HAM, 1998: 2).
Pengadilan juga membatalkan tuduhan bahwa al-Qimni menghina Kalifah Uthman Ibn ‘Affan. Menurut Hakim, yang dinyatakan al-Qimni tentang Uthman hanyalah kutipan dari sumber² literatur Islam terkenal dan dipercaya:
1. - Al Bedaya wal nehaya (Awal dan Akhir) oleh Sheikh Emad Ibn al-Nedaa Ishmael Ibn Omar Ibn Kathir. Lihat hal. 190 dan 251, bagian 7, volume 4, edisi al-Ghad al-Arabi.
2- Al Tabakat al Kobra oleh Mohammed Bin Sa’ad, disahkan oleh Prof. Hamza al Nasharti, Prof. Abdel Hafiz Faraghali dan Abdel Hamid Mustafa. Lihat hal. 623, vol. 11 distribusi Al Ahram.
3- Tarikh al Islam al Zahabi (Jaman Emas Islam), vol. 11, hal. 123 (diterbitkan oleh al-Ghad al Arabi).
4- Zoamaa al Islam (Pemimpin² Islam) oleh Dr. Hassan Ibrahim, diterbitkan oleh Egyptian Book Organization, Religious Works, edisi tahun 1997, hal. 401 (Ibid: 3-4).
Mengenai apa yang dikatakan al-Qimni tentang Syeikh Muhammad Al-Ghazali dan Jendral Essam Eddin Abul Azaym, Hakim berkata, “Meskipun dinyatakan dengan kata² keras, hal ini merupakan kritik yang boleh dinyatakan melalui perdebatan diantara para ahli dan pemikir terkemuka, dan hal ini lumrah dalam sejarah kritik dan debat intelektual” (ibid: 4). Tentang apa yang ditulis al-Qimni tentang peran Syeikh Abd Sabur Shahin dalam pengadilan Nasr Hamid Abu Zayd, Hakim menetapkan, “Hal ini bisa dilihat sebagai perdebatan antara penulis dan pandangan Shahin” (ibid). Pendeknya, Hakim membatalkan semua tuduhan terhadap penulis dan pelarangan bukunya. Hakim menyimpulkan keputusannya dengan berkata, “Karena semua alasan tersebut, kami membatalkan penyitaan buku Rab Al Zaman wa Derasaat Okhra oleh penulisnya Pak Sayyid Mahmoud al-Qimni, dan mempersilakan buku itu dicetak” (ibid: 5).
Analisa al-Qimni tentang Sejarah Awal Islam
Dalam kebanyakan tulisannya, al-Qimni mencoba membuktikan bahwa sejarah Islam telah dirubah dan diganti. Untuk membuktikan hal ini, al-Qimni menulis tiga buah buku yang kontroversial (mengundang banyak pertentangan), yakni:
1. Al-Hizb Al-Hashmi Wa Tasis Al-Dawla Al-Islamyia (Kelompok Hashmite dan Dasar Negara Islam), (1989)
2. Hurub Dawlat al-Rasul (Peperangan Negara Nabi), (1996)
3. Rab Al-Zaman (Tuhan Masa Kini), ( 1996 )
Bukunya yang pertama, Al-Hizb Al-Hashmi Wa Tasis Al-Dawla Al-Islamyia, membuat dirinya diserang para ulama Universitas Al-Azhar Al-Sharif. Menurut Sivan, “Di tahun 1989, al-Qimni menerbitkan bukunya yang menggemparkan, Al-Hizb Al-Hashmi, di mana dia membahas hal tabu seperti kehidupan Nabi Muhammad (al-Qimni membahas perjuangan Nabi di Mekah sebagai usaha meraih kekuasaan politik). Seorang ahli Islam terkemuka menyebut al-Qimni sebagai “Salman Rushdie Arab” (Sivan 2003: 39). Dalam bukunya, al-Qimni mencoba membuktikan bahwa kakek Nabi Muhammad yakni Abd al-Mutalab telah menyiapkan jalan bagi terwujudnya Negara Islam. Implikasi dari pandangan ini menyiratkan bahwa pendiri utama Negara Islam bukanlah seorang Nabi, tapi sang Nabi hanya mewujudkan apa yang telah dirilis oleh kakeknya. Selain itu, buku ini mencoba membuktikan bahwa banyak doktrin Islam dalam Qur’an ternyata meminjam gagasan dari para umat Hanafiya, Yudaisme, Sabian, dan agama pagan Arab. Buku ini juga menyebut beberapa ayat² puisi yang disusun oleh para penyair Arab yang hidup di jaman sebelum Islam atau hidup di jaman Muhammad, yang dijiplak persis ke dalam Qur’an dan jadi bagian dari buku suci Islam. Pernyataan seperti ini dianggap Muslim sebagai penyangkalan terhadap keaslian firman illahi dalam Qur’an dan dengan begitu menuduh Nabi Muhammad mencontek atau melakukan plagiarisme. Dengan begitu, Qur’an hanyalah menjadi “produk budaya” dan “kitab Qur’an yang asli di surga” dianggap omong kosong saja (Najjar 2002: 194). Meskipun begitu, para Muslim ahli Islam dari Al-Azhar tidak bisa menyangkal al-Qimni karena kritiknya bersumber dari literatur Islam yang dianggap sahih oleh para ulama. Mengutuk al-Qimni bisa juga berarti menyangkal kebenaran literatur Islam sahih. Buku² utama yang digunakan al-Qimni adalah tulisan² al-Tabari, al-Qurtubi, al-Suyuti, Ibn Kathir, al-Bihaqi, al-Halabi, Ibn Hisham, dan Ibn Sa’ad. Salwa Ismail memberi komentar atas tulisan kontroversial Sayyid al-Qimni dan Khalil Abd al-Karim:
Ini adalah sumber² Islam yang diakui Al-Azhar. Hal ini tidak bisa disangkal, karena penulis² menyatakan keterangan tentang masyarakat Mekah dan Medinah melalui sumber² terpercaya. Penulis² ini tidak mempertanyakan kesahihan sumber, tapi justru menggunakan sumber² ini untuk menyerang pihak² yang menentang mereka. Jika pihak Al-Azhar menyatakan materi tulisan itu salah, maka mereka harus menelaah kembali buku² sahih Islam, dan memang begitulah yang diinginkan para penulis tersebut (Ismail 2004: 114).
Dalam buku keduanya, Hurub Dawlat al-Rasul (Peperangan Negara Nabi), al-Qimni lagi² melanggar batas tabu yang ditetapkan oleh para ulama Islam dengan membahas kehidupan politik Nabi Muhammad. Dia tidak hanya mengritik sejarah Islam saja, tapi juga mengritik kehidupan politik Nabi Muhammad. Penelaahannya menunjukkan bahwa Nabi bersikap licik dan penuh tipu daya terhadap kaum Yahudi. Ketika dia masih lemah dan membutuhkan dukungan kaum Yahudi, dia memuji-muji agama dan Nabi² mereka. Ketika tidak lagi membutuhkan dukungan kaum Yahudi untuk mendirikan Negara Islam, sang Nabi mencari-cari kesempatan untuk menyingkirkan mereka semua. Hal ini menunjukkan Nabi sebagai politikus licik yang melakukan segala cara untuk meraih cita²nya. Dalam bahasa modern, sang Nabi mengikuti prinsip “the end justifies the means” (yang penting hasil akhrinya saja). Contoh lain adalah sikap Nabi terhadap agama kakek moyang masyarakat Mekahnya. Di awal karirnya, sang Nabi menolak dan mengutuki agama pagan yang merupakan agama kakek moyang Arabnya. Pada waktu itu, dia bersikap damai dan memberi hak pada siapapun untuk menerima dan menolak pesannya. Tapi pada akhir hidupnya, literatur Islam menunjukkan bahwa sang Nabi ternyata kembali memeluk agama pagan kakek moyangnya dan memasukkan semua ibadah pagan ke dalam Islam, terutama ibadah Haji. Di masa ini, Qur’an menyangkal hak bebas beragama, dan Islam merupakan pilihan satu²nya bagi pagan Arab. Para ahli Islam mencoba mengatasi segala kontradiksi dalam Qur’an melalui doktrin Nasikh dan Mansukh atau “pembatalan.” Akan tetapi, al-Qimni menganggap doktrin ini tidak memecahkan masalah. Solusi yang lebih baik dan jujur adalah dengan mempertimbangkan berbagai konteks politik yang dialami Muhammad. Melalui penelaahan kehidupan politik Nabi dan doktrin Islam, tulisan² al-Qimni menceraikan diri dari penafsiran tradisional Islam.
Dalam bukunya yang ketiga, Rab Al-Zaman (Tuhan Masa Kini), al-Qimni mendapat masalah dari ahli² Islam Al-Azhar. Mereka tidak bisa lagi menolerir dirinya lebih jauh. Mereka meminta Pemerintah melarang bukunya dan membawa al-Qimni ke Pengadilan. Mereka mengira dengan begitu al-Qimni akan dihukum. Akan tetapi, al-Qimni malah menang di Pengadilan karena dia menggunakan sumber² Islam yang diakui Al-Azhar. Dengan begitu, tulisan² al-Qimni tetap tidak bisa dibantah para ahli Islam.
Dalam bukunya Rab Al-Zaman, al-Qimni mencoba membuktikan sejarah Islam penuh pemalsuan. Dia menggunakan contoh kasus peperangan terhadap kaum murtadun yang dilakukan Abu Bakr terhadap suku² Arab. Menurut al-Qimni perang ini tiada hubungannya dengan agama. Abu Bakr mengobarkan perang terhadap siapapun yang menolak menerimanya sebagai Kalifah umat Muslim. Untuk menghalalkan perang itu, Abu Bakr menyelubunginya dengan pesan illahi. Dia mengarang hadis yang menghalalkan pembunuhan para Muslim Arab dan mengatakan hadis itu diucapkan oleh Nabi. Al-Qimni mengatakan sejarah Perang Murtadun ini dipalsukan dan diajarkan pada Muslim di berbagai sekolah Islam dan dianggap sebagai perang suci. Al-Qimni juga mengritik Kalifah ketiga Uthman Ibn ‘Affan sebagai pemimpin yang korup dan akibatnya dia dibunuh. Untuk membuat Uthman tampak baik, para penulis sejarah Muslim menutupi fakta dan mengganti kisah sejarah dan mengatakan Uthman dibunuh oleh orang Yahudi!
Dalam tulisannya, “Al-Qimni menunjukkan persaingan politik dan penggulingan kekuasaan untuk meraih kedudukan dalam Islam” (Ismail 2004: 102). Tujuan utama al-Qimni adalah untuk menghapus “anggapan periode awal Islam sebagai keadaan sosial dan politik yang ideal” (ibid: 103). Akan tetapi, tulisan al-Qimni menimbulkan kebencian Muslim terhadapnya. Para Muslim tentunya tidak bisa menerima kenyataan simbol² Islam dipertanyakan. Para ulama al-Azhar mengajukan dua alasan mengapa simbol² Islam tidak boleh dipertanyakan:
Pertama-tama, simbol² Islam itu merupakan bimbingan yang benar sekali. Setiap usaha mempertanyakan kekuasaan dan otoritas Islam harus disingkirkan. Kedua, sebagai pembimbing, mereka lebih benar dibandingkan penilaian atau pertanyaan Muslim awam. Dengan begitu, Muslim tidak perlu mempertanyakan. Dia hanya akan bisa bereaksi penuh emosi saja, dan tidak mampu menelaah dalam level intelek (ibid).
Pernyataan al-Azhar ini diajukan ke Pengadilan Rendah Cairo Utara dalam laporan yang dipersiapkan oleh Badan Riset Islam Universitas Al-Azhar. Laporan juga menyatakan, “Tulisan buku itu mengandung kesalahan dan pemlintiran dan salah tafsir akan apa yang dimengerti sebagai Islam yang sebenarnya” (ibid: 117). Tapi karena tidak bisa membuktikan tuduhan dan karena kalah di Pengadilan, maka para ulama mengganti taktik dan mulai menuduh al-Qimni sebagai taksir atau tak beriman pada Islam dan nyawa al-Qimni jadi terancam. Al-Qimni lalu menyembunyikan diri di tahun 1998. Para penyerangnya termasuk Dr. ‘Abd al-Mu’ti Bayumi, dosen Universitas Al-Azhar dari Fakultas Dasar Agama, dan juga banyak ahli Islam terkemuka Azhari lainnya.
Al-Qimni Menarik Kembali Tulisannya
Pada tanggal 17 Juli, 2005, Dr. Sayyid Mahmoud al-Qimni menerima surat dari al-Qaida cabang Irak yang dipimpin oleh al-Zarqawi. Surat ini mengatakan al-Qimni akan dibunuh jika dia tidak mengganti tulisan²nya dan berjanji untuk tidak menulis lagi.
Pujian hanya bagi Allâh saja, dan doa dan damai bagi dia yang tiada lagi Nabi setelah dia.
Kau harus tahu, kau kafir jahanam yang bernama Sayyid al-Qimni, bahwa lima Muslim Tauhid dan singa² Jihad telah mengincar untuk membunuhmu. Mereka bersumpah pada Allâh yang Maha Tinggi bahwa mereka akan mendekatkan diri padaNya untuk memukul kepalamu, dan menyucikan dosa mereka dengan cara mengucurkan darahmu. Dengan melakukan hal itu, mereka memenuhi perintah Nabi tertinggi, doa² Tuhanku dan salam baginya yang mengatakan, “siapapun yang mengganti agamanya harus dibunuh.”
Kau penuduh palsu, kami tidak main², silakan mau percaya atau tidak, kami tidak akan mengulang ancaman kami. Tiada guna bagimu untuk melapor pada pihak keamanan Mesir. Mereka tidak bisa melindungi kamu. Mereka mungkin bisa melindungimu untuk sesaat tapi setelah itu mereka akan meninggalkanmu untuk dijadikan korban para singa Islam. Ini pun jika mereka setuju untuk melindungimu. Tiada pengawal pribadi yang bisa melindungimu. Pengawal²mu tidak akan mampu menghentikan peluru yang ditembakkan dari mobil yang melaju atau dari teras rumah tetangga. Tiada yang bisa menghentikan bom meledak di mobilmu atau cara pembunuhan lainnya. Ingat orang² yang kami kirim ke liang kubur padahal lebih sukar membunuh mereka daripada membunuh kamu. Orang bijak belajar dari kesalahan orang lain.
Ini menjernihkan kesadaran kami dan mendirikan kembali al-Mugah [36] dalam dirimu, kami beri kamu waktu satu minggu untuk menyatakan pertobatan dan tarik semua tulisanmu yang murtad. Kau harus mengumumkan penarikan tulisan di majalah “Rose-al-Yusif” di mana kau selalu menerbitkan semua tulisan² kafirmu.
Jika kau ngotot, kau bodoh dan terpedaya, tetap keras kepala dan terus murtad dan atheis, Setan terkutuk berbisik padamu bahwa kau pasti bisa menghindari kelompok Jihad, maka ketahuilah bahwa pedang para Muslim akan memenuhi kewajibannya bagimu. Saat ini kau bagaikan mayat berjalan diantara para Muslim. Sebaiknya kau cari lubang persembunyian karena Muslim setia pasti akan memburumu.
Ini adalah peringatan bagimu, kebangkitan adalah janji kami, dan pada Pemilik Takhta Illahi saja orang menemukan kebaikan.
Tertanda: Kelompok Jihad, Mesir.
[36] Untuk membuktikan sumpah seseorang yang bid’ah (sesat) dan yang murtad dari Islam.
Sayangnya, al-Qimni dipaksa menarik kembali tulisannya dan menerbitkan pertobatan di media. Menurut laporan Caroline Kim, karena “menghadapi ancaman nyawa, maka penulis Mesir terkenal Sayyid al-Qimni, di tanggal 16 Juli menarik kembali tulisannya dan bersumban untuk tidak menulis lagi di media” (Kim, 15 Juli, 2005). Aku kira dunia Muslim dan Mesir terutama tidak akan pernah lagi menghasilkan penulis sejujur, seberani, dan sejenius Dr. Sayyid Mahmoud al-Qimni.
Bab 9 - Ajaran Muhammad tentang Wanita
Menurut Daniel Boyarin, “Agama jelas merupakan sistem utama dalam sebagian besar budaya dalam menentukan peranan gender (lelaki dan wanita)” (Boyarin 1998: 117). Karena itulah, untuk mengetahui peranan laki dan wanita dalam umat Muslim, kita harus mengetahui apa yang dikatakan Qur’an tentang peranan Muslim dan Muslimah. Banyak tokoh feminis Muslimah di jaman modern ini yang menelaah secara kritis dan menulis ulang permasalahan gender dalam Islam. Kebanyakan dari mereka mengatakan Muslimah ditekan dan dilarang berkembang dalam Islam. Akan tetapi, mereka membantah hal ini berasal dari ajaran Qur’an, tapi lebih merupakan hasil tradisi/budaya yang menempatkan wanita di posisi rendah. Untuk menaikkan derajat wanita sejajar dengan derajat pria, para feminis Muslimah ini meminta ahadis (hadis² akan perkataan dan perbuatan Nabi) yang menjelekkan wanita harus disingkirkan. Mereka yakni ahadis sial ini merupakan rekayasa para pemimpin Muslim dan ahli Islam generasi berikut setelah Nabi wafat dan ahadis ini tidak mewakili pesan asli Qur’an, yang diakui mereka memberikan persamaan hak antara laki dan wanita. Akan tetapi, banyak Muslim ahli Islam yang menyangkal tuduhan pihak feminis Muslimah. Fundementalis Muslim yakin sekali ahadis itu merupakan perkataan Nabi yang asli 100% dan menolaknya berarti menyangkal perkataan Nabi Muhammad. Selain itu, mereka yakin pula bahwa tidak mungkin untuk benar² mengerti Qur’an tanpa penjelasan dari hadis yang menerangkan isi Qur’an.
Dengan demikian, dalam dunia umat Muslim modern, hadis (cara hidup, perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad) menjadi bahan perdebatan diantara para ahli Islam. Di satu pihak, kaum feminis Muslimah, reformis Islam, dan modernis Muslim meminta pesan² Islam yang jelek yang mereka anggap bertentangan dengan pesan Islam yang asli untuk disingkirkan, sedangkan pesan Qur’an tentang persamaan hak bagi laki dan wanita mereka dianggap sebagai pesant Islam yang asli. Di lain pihak, kaum fundamentalis, tradisionalis, dan konservatif Muslim menerima seluruh ahadis Islam, yang kemudian juga diterapkan dalam Hukum Syariah Islam [37]. Meskipun pihak terakhir ini juga berusaha membedakan mana hadis yang sahih dan mana yang lemah, tapi perseteruan antara kedua pihak tetap berlangsung. Karena pengaruh² luar, jarak perbedaan antara kedua pihak makin lama makin lebar. Pertentangan hal akademis dan masalah Islam ini tidak berpengaruh banyak terhadap kedudukan Muslimah dalam umat Muslim. Kebanyakan Muslim modern menerima saja ajaran Islam yang disampaikan pada mereka dari generasi dulu ke generasi berikutnya dan dipertahankan dalam Hukum Syariah, yang bersumber dari Qur’an dan Hadis.
[37] Hukum Islam dibentuk di dua ratus tahun pertama setelah kematian Muhammad.
Dalam tulisan ini, aku akan menelaah secara kritis pandangan² para feminis Muslimah dan melihat apakah pandangan mereka bisa dipertahankan dalam menghadapi tradisi turun-temurun Islam di mana Syariah Islam yang bersumber pada Qur’an dan Hadis mengatur semua norma dan hukum kehidupan Muslim. Para Muslim ahli Islam setuju akan kesahihan dua koleksi Hadis yakni Bukhari Sahih [38] dan Muslim Sahih. Selain itu, terdapat pula koleksi hadis lainnya seperti Muwatta Malik, Sunan Abu Daud, dan Tirmizi yang juga diakui kebenarannya dan banyak digunakan dalam Syariah. Umumnya, “Koleksi Hadis merupakan tulisan rinci tentang apa yang dikatakan dan diperbuat Nabi. Bersama Qur’an, Hadis merupakan sumber hukum dan acuan untuk membedakan mana yang haram dan halal, yang benar dan yang salah – sumber² hukum ini membentuk etika dan nilai² moral Muslim” (Mernissi 1993: 1). Bagi kebanyakan Muslim, “Hadis sahih merupakan tulisan yang sakral, yang kedua setelah Qur’an yang suci” (Strowasser 1992: 1). Dalam membandingkan kesucian Qur’an dan Hadis:
[38] Sahih = Terpercaya.
Hadis Sahih dianggap sebagai ketetapan illahi tapi bukan sebagai seperti wahyu Allâh (karena dalam Qur’an yang Muhammad berkata), “dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan” (Q 53:3-4). Satu²nya perbedaan antara Qur’an dan Hadis adalah Qur’an disampaikan oleh malaikat Jibril dan setiap kata berasal dari Allâh, sedangkan Hadis dinyatakan tanpa melalui huruf ataupun kata(Haqq & Newton 1996:1).
Qur’an mendukung kesahihan Hadis dan Muslim dan Muslimah harus tunduk pada Qur’an dan Hadis:
Q 33:36
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Meskipun terdapat keyakinan kuat akan isi Hadis, di jaman modern ini kita dapatkan banyak Muslim ahli Islam yang tidak ragu mempertanyakan keaslian Hadis, terutama kaum feminis dan reformis Muslim. Mereka mengakui kedudukan penting Hadis dalam Islam tapi mereka ingin membedakan Hadis yang sahih dan yang lemah. Mereka menggunakan Qur’an dalam menentukan perbedaan ini. Hadis manapun yang bertentangan dengan pesan Qur’an tentang kesamaan hak harus ditolak. Pandangan seperti ini tentunya menganggap Qur’an tidak mengandung pesan yang jelek. Salah satu tokoh feminis Muslimah adalah Riffat Hassan yang berkata, “Sudah jelas dalam ajaran Qur’an bahwa lelaki dan wanita punya kedudukan sama di hadapan Allâh” (Hassan 2001: 63). Meskipun begitu, pesan kesamaan hak dalam Qur’an tetap saja diperdebatkan. Sebagian feminis Muslimah melihat kontradiksi dalam Qur’an dan hal ini tampak nyata bagi mereka dalam ayat² Qur’an yang mengajarkan pria lebih superior dibandingkan wanita, poligami, cerai, dan pemukulan pada istri (Q 4: 34, 4: 3, 2: 228, 2: 282, 6: 10). Feminis Muslimah Nawal El-Saadawi merupakan salah satu feminis yang melihat kontradiksi dalam Qur’an. Dia berkata, “Allâh berkata dalam buku sucinya bahwa Dia menciptakan lelaki dan wanita dari satu jiwa yang sama; tapi di halaman lain, Dia mengatakan yang sebaliknya, bahwa lelaki lebih superior dibandingkan wanita” (Saadawi 2001: 4). Dengan demikian, pernyataan bahwa Qur’an mengatakan lelaki dan wanita berkedudukan sama tetap merupakan masalah yang dipertentangkan. Yang mengakui kesamaan kedudukan lelaki dan wanita dalam Qur’an akan sukar memenangkan perdebatan. Hal ini karena “para Muslim pada umumnya tidak suka akan sikap mempertanyakan kesahihan ahadis dalam rangka mengartikan kembali Qur’an untuk menciptkan wajah Islam yang baru” (Strowasser 1992: 1).
Contoh ahadis yang merendahkan wanita:
Sahih Bukhari, Hadis no. 301 dan 856:
Rasul Allâh suatu saat berkata pada sekelompok wanita: ‘Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih bodoh dalam berpikir dan beragama dibandingkan kalian. Orang yang bijak dan waras bisa disesatkan oleh sebagian dari kalian.’ Para wanita bertanya, ‘Wahai Rasul Allâh, apa sih kekurangan kami dalam berpikir dan beragama?’ Dia berkata, ‘Bukankah kesaksian dua wanita sama nilainya dengan kesaksian satu pria?’ Mereka membenarkan akan hal itu. Dia berkata, ‘Itulah yang merupakan kebodohanmu dalam berpikir.’ … ‘Bukankah wanita tidak boleh sholat atau puasa saat sedang mengalami datang bulan?’ Para wanita membenarkan hal itu. Dia berkata, ‘Itulah yang merupakan kebodohanmu dalam beragama.”
Kesahihan ahadis di atas sudah diakui dalam dunia Islam. Isi hadis ini diulang berkali-kali dalam dua koleksi Hadis Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ketika Bukhari dan Muslim menerima hadis ini, mereka menyebut hadis ini sebagai“mutafagun ‘alayihi” yang berarti “disetujui” (Haqq & Newton 1996: 3). Kalimat Arab “al-Nisa nagisatan ‘aglyan wa din” (wanita itu bodoh dalam berpikir dan beragama) terdapat dalam ujung lidah setiap Muslim. Kalimat ini sering digunakan oleh para Muslim ahli Islam dan Muslim awam dalam menjelaskan tentang wanita. Ada sebuah peribahasa terkenal di negara² Arab, “Jika seorang wanita menjadi sebuah kampak, dia tidak akan bisa membacok kepala.” Peribahasa ini menerangkan bahwa wanita tidak saja lemah, tapi juga sama sekali tak berguna. Contoh hadis lain yang menghina wanita:
Sahih Bukhari, vol. VII, no. 113
Wanita itu bagaikan tulang iga; jika kau mencoba meluruskannya, maka dia akan patah. Jadi jika kau ingin memanfaatkan dia, lakukanlah meskipun dia bengkok.
Sahih Bukhari, vol. I, no. 28
Wanita itu tak tahu terima kasih pada suami² mereka dan tak berterima kasih pada pertolongan dan kebaikan yang diberikan pada mereka. Jika kau selalu baik terhadap salah satu dari para wanita itu dan dia lalu melihat sesuatu pada dirimu yang tidak disukainya, maka dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah menerima kebaikan apapun darimu.’
Sahih Muslim, no. 3240
Ketika seorang wanita muncul, dia akan muncul dalam bentuk setan.
Sahih Bukhari, vol. I, no. 301
Nabi berkata, “Wahai kaum wanita! Beri zakat, karena aku melihat kebanyakan penghuni neraka adalah kalian (kaum wanita).
Sahih Muslim, no. 6600
Diantara penghuni Surga, kaum wanita merupakan kelompok minoritas.
Mereka yang mempercayakan masalah mereka pada seorang wanita tidak akan pernah mengalami kemakmuran (Mernissi 1993: 49).
Fatima Mernissi menulis bahwa:
Sebagian hadis dari kitab [39] Bukhari yang disampaikan oleh guru²ku menyakiti hatiku. Mereka menyatakan bahwa Nabi berkata, “Anjing, keledai, dan wanita akan membatalkan sholat Muslim jika mereka berjalan di hadapan Muslim, membatalkan sholat Muslim dan kiblat sholat.” [40] Aku kaget sekali mendengar hadis seperti ini dan tidak pernah mengulang isi hadis itu lagi dalam pikiranku dengan harapan aku bisa melupakannya. Aku bertanya, “Mengapa Nabi mengatakan hadis seperti itu yang sangat menyakitkan hatiku … Bagaimana mungkin Nabi tercinta sanggup menyakiti gadis cilik yang sedang tumbuh, dan yang berusaha mengidolakannya dalam impian² romantisnya” (Mernissi 1991: 82).
[39] buku
[40] Arah sembahyang umat Muslim.
Muslimah dan Budaya
Mungkin penjelasan paling tepat tentang kedudukan Muslimah dalam dunia Islam terdapat dalam tulisan² pemikir Muslim liberal Mesir Sayyid Mahmoud al-Qimni. Dalam bukunya Rab Al-Zaman (Tuhan Masa Kini), di bawah artikel yang berjudul “Wanita dalam Warisan dan Legenda² Agama,” dia menyampaikan isi artikel ini sebagai bahan kuliah pada Persatuan Wanita Masyarakat Maju (People’s Progressive Women’s Union). Al-Qimni menunjuk Islam sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas rendahnya kedudukan Muslimah (al-Qimni 96: 219). Menurutnya, warisan agama Islam membuat para Muslimah yakin “bahwa dia diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, bodoh dalam berpikir dan beragama, kesaksiannya hanya berharga separuh dibandingkan kesaksian pria, jatah warisannya hanya separuh jatah warisan pria, dan dia tidak bisa menceraikan suaminya” (ibid: 220). Muslimah yakin dirinya merupakan jelmaan Setan dan karena itu dia tidak bisa mengontrol nafsu berahinya (ibid: 221). Menurut Islam, “Wanita hanya menuruti nafsu berahinya dan tidak bisa berpikir, dia punya kecenderungan alami untuk mengkhianati suaminya, karena dia merupakan satu dari empat hal yang tak bisa dipercaya, ‘duit, Sultan, waktu, dan wanita” (ibid: 220). Wanita diciptakan untuk kenyamanan dan kesenangan suaminya saja. Dengan begitu, Islam membuat Muslimah “yakin bahwa dirinya itu tak lebih daripada sekedar vagina dan di luar itu dia adalah horma (tabu) dan haram. Karena itulah, jika dia mempertahankan imannya dan vaginanya dan membuat senang suami dan majikannya, maka dia akan masuk surga” (ibid: 220). Iman Muslimah “tidak bisa sempurna kecuali jika dia tunduk dan taat sepenuhnya pada suaminya dan ketaatan seperti ini akan memberinya tempat di surga sebagai seorang pelacur diantara banyak harem Muslim” (ibid: 221). Gambaran nasib Muslimah menyedihkan yang diajukan al-Qimni membuat banyak profesor² Muslimah dan para ulama atau ahli Islam Al-Azhar jengkel karena mereka yakin Islam menghormati wanita dan meletakkan wanita di kedudukan yang terhormat.
Al-Qimni berkata Qur’an memberikan dua hak kontradiktif akan wanita (al-Qimni 2004: 170). Beberapa ayat Qur’an menyatakan wanita berkedudukan sama dengan lelaki, misalnya Sura² al-Imran: 195, al-Nahil: 97, al-Touba: 71, al-Ahzab: 35, and al-Maida: 38. Pandangan positif akan kaum wanita ini dijungkirbalikkan dengan Sura al-Nisa 4:34 (pemukulan terhadap istri yang tidak taat pada suami). Dalam sebuah hadis Bukhari, Nabi berkata, “setiap orang yang memilih wanita sebagai pemimpin tidak akan makmur” (ibid). Al-Qimni mengutip banyak ayat² Qur’an dan hadis² untuk menunjukkan kedudukan Muslimah yang rendah dalam Islam.
Dalam hal ini, al-Qimni menyebut kejadian di mana dia dituduh sebagai kafir oleh para profesor dan doktor (S3) Muslimah dari Universitas Al-Azhar karena dalam bukunya yang berjudul Al-Fashun wa Al-Watan, (Kaum Fasis dan Negara), dia menerangkan Islam menempatkan Muslimah di kedudukanyang rendah – bahwa Muslimah kurang dalam segala hal dibandingkan Muslim dan Muslimah diciptakan sebagai pemuas nafsu berahi Muslim. Alasan utama protes mereka adalah karena al-Qimni menyatakan bahwa mereka “berlaku salah karena berani menuntut hak² bagi wanita, padahal Islam hanya memberi hak seperti itu pada Muslim saja” (ibid: 177).
Contoh² hadis² perendahan wanita dan penjelasan al-Qimni menunjukkan teori sebenarnya akan Muslimah dalam Islam. Sudah jelas bahwa fakta menunjukkan Muslimah seringkali dianggap sebagai ancaman dalam kestabilan masyarakat Muslim dan karenanya mereka harus di bawah kontrol Muslim. Darlene M. Juschka menulis, “Jika kaum wanita dianggap jadi pembawa sial suatu budaya – misalnya dianggap sebagai pembuat kekacauan, perilaku sex yang tak terhormat, dan sikap tak masuk akal – maka masyarakat menganggap perlu mengambil tindakan untuk menekan ancaman ini…” (Juschka 2001: 161).
Lelaki Lebih Superior Dibandingkan Wanita
Qur’an menyatakan bahwa lelaki dan wanita punya kesamaan dalam kewajiban beribadah, pahala dan hukuman, dan kesatuan penciptaan (Q 3:195, 4:1). Akan tetapi, ayat² Qur’an lain mengajarkan pria lebih superior dan satu derajat lebih tinggi daripada wanita (Q 4:34, 2:228). Fadela M’rabat dari Aljeria mengomentari Q 4:34 sebagai berikut, “Apa yang sebenarnya ingin disampaikan dari ayat ini adalah Allâh lebih suka pada pria daripada wanita, karena wanita lebih lemah.” (Smith 1978: 526). Pria lebih superior daripada wanita di bidang pengetahuan, kekuatan, kekuasaan dan ini karena Allâh lebih suka akan pria daripada wanita dan pria berkuasa atas wanita. Lebih jauh lagi, wanita dianggap bodoh dalam berpikir dan beragama
Wanita Bukan Saksi yang Baik dan Tak Tahu Berterimakasih
Q 2:282
… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. …
Sahih Bukhari, vol. I, no. 28
Wanita itu tak tahu terima kasih pada suami² mereka dan tak berterima kasih pada pertolongan dan kebaikan yang diberikan pada mereka. Jika kau selalu baik terhadap salah satu dari para wanita itu dan dia lalu melihat sesuatu pada dirimu yang tidak disukainya, maka dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah menerima kebaikan apapun darimu.’
Wanita adalah ‘AURAT
Tiada definisi lain yang begitu banyak dipakai dan diterima Muslim selain definisi wanita adalah AURAT. Ensiklopedia Islam menjelaskan bahwa Aurat adalah “ alat kelamin wanita atau vagina” (Haqq & Newton 1996: 5). Kata ini diambil dari kata benda “telanjang”. Jadi artinya “wanita adalah vagina.”
Hadis Tirmizi, vol. II, kitab Adab al-Nikah, hal. 65
Ali melaporkan bahwa Nabi berkata, ‘Wanita punya sepuluh aurat. Ketika dia menikah, suaminya menutupi satu auratnya, dan ketika dia mati menutupi sepuluh auratnya.
Di hadis lain, Tirmizi melaporkan bahwa wanita adalah Aurat.
Tirmizi, vol. II, hal. 65
Seorang wanita adalah Aurat. Ketika dia keluar rumah, Setan menyambutnya.
Hadis ini mengatakan bahwa wanita selalu dirasuki setan². Dengan begitu, wanita dianggap berbahaya bagi umat Muslim dan karenanya dia harus dipenjara di dalam rumahnya.
Kedua hadis ini berhubungan dengan pemaksaan wanita memakai kerudung. Tapi aturan kerudung Muslimah pun berbeda-beda dan para tokoh pendiri empat aliran Islam utama tidak memiliki aturan yang sama akan hal ini. Aliran² Islam Maliki dan Hanafi mengijinkan Muslimah untuk menunjukkan tangan dan wajah, sedangkan seluruh tubuh dikerudungi. Aliran Shafi’i dan Hanbali menganggap seluruh tubuh wanita sebagai aurat dan karenanya wanita wajib menutupi seluruh tubuh, dari ujung kepala sampai ujung kaki. (Haqq & Newton 1996: 5). Sebagian Muslim ekstrim pendukung Sunah Nabi malahan menganggap suara wanita sebagai aurat sehingga wanita bahkan tidak boleh bicara di manapun.
Tambahan keterangan tentang Empat aliran utama Syariah Islam:
• Hanafi (Syria, Turkey, Pakistan, the Balkans, Asia Pusat, anak benua India, Iran, Afghanistan, China dan Mesir)
• Maliki (Afrika Utara,daerah² di Afrika Barat, dan beberapa negara Arab di Teluk Persia)
• Shafi'i (Arabia, Indonesia, Malaysia, Maldives, Egypt, Somalia, Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Yemen dan India selatan)
• Hanbali (Arabia).
Wanita adalah Tulang Rusuk yang Bengkok
Bukhari dan Muslim setuju akan hadis² berikut:
Sahih Bukhari, vol. VII, no. 113
Wanita itu bagaikan tulang iga; jika kau mencoba meluruskannya, maka dia akan patah. Jadi jika kau ingin memanfaatkan dia, lakukanlah meskipun dia bengkok.
Dalam kitab Adab al-Nikah, Tirmizi menyatakan di hal. 51:
Tiga orang jika kau menghormati mereka maka mereka akan menghinamu dan jika kau menghina mereka maka mereka akan menghormatimu: wanita, budak, dan orang Nabasia [41].
[41] Nabasia = vegetarian.
Hak² Muslim akan Muslimah
Islam menetapkan hak² bagi Muslim dan Muslimah. Yang terpenting dari hak² ini adalah ketaatan total pihak Muslimah terhadap suami² Muslim mereka.
Ketaatan
Banyak hadis yang menerangkan perihal ketaatan berhubungan dengan Q 4:34.
Mishkat al-Masabih, Buku I, hadis No. 74
Ada tiga orang yang sholatnya tidak akan diterima, atau amalnya tidak akan dihitung: budak yang melarikan diri sampai dia kembali ke majikannya, wanita yang suaminya tidak puas akan dirinya, dan orang mabuk sampai dia sadar kembali.
Mishkat al-Masabih, Buku I, hadis No. 60
Wanita yang mati dan suaminya puas akan dirinya, maka wanita itu akan masuk surga.
Mishkat al-Masabih, Buku I, hadis No. 61
Nabi Allâh berkata: Jika seorang pria memanggil istrinya untuk memuaskan nafsu berahinya, wanita itu harus segera datang pada suaminya, meskipun dia saat itu sedang sibuk di dapur.
Sahih Bukhari, vol. VII, no. 121
Rasul Allâh berkata: Jika seorang pria memanggil istrinya ke ranjangnya dan istri itu menolak, dan suami melalui malam hari dengan rasa marah, maka para malaikat akan mengutuki istri sampai dia terjaga di pagi hari.
Muslim menyampaikan hadis serupa dengan isi yang agak berbeda:
Jika seorang pria memanggil istrinya ke ranjangnya, dan istri menolak, Dia yang di surga akan marah pada sang istri sampai suaminya merasa puas dengannya. (Haqq & Newton 1996: 7).
Mishkat al-Masabih, Buku I, hadis No. 70
Jika saja aku harus memerintahkan orang untuk bersujud pada orang lain, maka aku akan memerintahkan para wanita untuk bersujud di hadapan para suami mereka sesuai dengan hak pria atas wanita yang telah ditetapkan Allâh.
Hadis ini dinyatakan pula oleh Abu Daud, Ahmad, Tirmizi, Ibn Magah, dan Ibn Haban.
Pemukulan atas Wanita
Qur’an 4:34 menyatakan:
… Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. …
Ayat di atas menjadi bahan perdebatan sengit diantara para ahli Islam modern. Kelompok² feminis, reformis, dan Muslim liberal beranggapan ayat ini tidak berarti suami dapat memukul istrinya jika istri berontak. Mereka mencoba mencari makna lain dari kata Arab “idribuhun” agar tidak berarti memukul. Contoh dari usaha ini tampak di buku Asma Parl yang berjudul “Muslimah dalam Islam.” Akan tetapi usaha² seperti ini sukar diterima tatkala kita melihat latar belakang kejadian turunnya ayat. “Ayat di atas dinyatakan berkenaan dengan seorang wanita yang mengeluh pada Muhammad bahwa suaminya menampar wajahnya (dan bekas pukulan masih tampak jelas di wajahnya). Awalnya sang Nabi berkata padanya: ‘Balas pukul dia,’ tapi lalu menambahkan: ‘Tunggu sampai aku memikirkan hal itu.’ Selanjutnya ayat di atas dinyatakan, di mana Nabi berkata, ‘Kami menginginkan sesuatu tapi Allâh menginginkan hal lainnya, dan apa yang diinginkan Allâh adalah yang terbaik.” (Haqq & Newton 1996: 9).
Memukul istri merupakan hal yang halal dalam Syariah jika termasuk dalam empat kasus berikut:
1. Jika istri tidak mau berdandan atau berhias diri padahal suaminya menghendaki begitu,
2. Jika istri tidak mau berhubungan sex dengan suami tanpa alasan yang diakui Islam,
3. Jika istri disuruh membersihkan diri untuk sholat dan dia tidak mau, dan
4. Jika dia pergi keluar rumah tanpa ijin dari suaminya.
Dalam hadis Muslim sahih, Aisyah mengatakan hadis yang panjang dimana Nabi memukul dadanya sampai terasa sakit.
Hadis Sahih Muslim, buku 004, nomer 2127:
Muhammad b. Qais berkata kepada orang2: Haruskah aku menceritakan padamu (sebuah hadis dari sang Nabi) berdasarkan wewenangku dan wewenang ibuku? Kami mengira dia mengatakan ibunya yang melahirkan dia. Dia (Muhammad b. Qais) lalu melaporkan bahwa Aisha-lah yang menceritakan ini: Haruskah aku menceritakan padamu tentang diriku dan Rasul Allah (SAW)? Mereka berkata: Ya. Dia (Aisha) berkata: Waktu itu adalah giliranku untuk menghabiskan malam hari bersama dengan sang Nabi. Dia membaringkan badannya, memakai baju hangatnya dan melepas sepatunya dan lalu berbaring sampai dia mengira aku tertidur. Dia memegang baju hangatnya perlahan dan pelan2 memakai sepatunya, dan membuka pintu dan ke luar dan menutup pintu sedikit. Aku menutupi kepalaku, mengenakan kerudungku dan mengencangkan kain pembungkus pinggangku, dan lalu ke luar mengikutinya sampai dia mencapai Baqi’. Dia berdiri di sana dan dia berdiri untuk waktu yang lama. Dia lalu mengangkat tangan2nya tiga kali, dan lalu kembali dan aku pun kembali. Dia mempercepat langkahnya dan aku pun mempercepat langkahku. Dia berlari dan aku pun berlari. Dia tiba (di rumah) dan aku juga tiba (di rumah). Akan tetapi aku datang lebih cepat dan aku masuk (rumah), dan selagi aku berbaring di tempat tidur, dia (sang Nabi) masuk (ke rumah), dan berkata: Mengapa, O Aisha, kau terengah-engah kehabisan nafas? Aku berkata: Tidak ada apa2. Dia berkata: Katakan padaku atau Sang Pengamat dan Sang Maha Tahu akan memberitahukan padaku. Aku berkata: Rasul Allah, semoga ayahku dan ibuku jadi tebusan bagimu, dan lalu kuceritakan padanya (semua hal). Dia berkata: Apakah itu gelapnya (bayanganmu) yang kulihat di mukaku? Aku berkata: Ya. Dia memukul dadaku sampai terasa sakit, dan berkata: Apakah kau pikir Allah dan RasulNya akan bertindak licik terhadapmu? Aku berkata: Apapun yang disembunyikan manusia, Allah akan mengetahuinya. Dia berkata: Gabriel datang padaku ketika kau melihatku. Dia memanggilku dan dia tak tampak bagimu. Aku menjawab panggilannya, tapi aku tidak memberitahumu (karena Gabriel tidak datang padamu), karena kamu tidak berpakaian lengkap. Kupikir kau sudah tidur, dan aku tidak suka membangunkanmu, khawatir kau akan takut ….
Hadis² yang membahas tentang wanita jumlahnya sangat banyak. Beberapa dari hadis² tersebut menunjukkan sikap yang baik terhadap wanita, dan wanita dalam hal ini adalah seorang ibu dan bukan seorang istri atau anak perempuan.
Abu Hurairah melaporkan bahwa seorang pria datang menghadap Rasul Allâh dan bertanya: “Wahai Rasul Allâh, siapakah orang yang paling berhak untuk mendapatkan kebaikan dan perhatian dariku?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya lagi, “Setelah itu siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya lagi, “Setelah itu siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu. Surga terletak di bawah kaki para ibu.”
Dr. Suhaib Hasan memberi komentar terhadap hadis di atas:
Hadis itu merupakan hadis yang do’if [42], tapi isinya tercantum pula di hadis Ibn Majah dan al-Nasa’i di mana seorang pria datang menghadap Nabi dan berkata, “Wahai Rasul Allâh! Aku berniat pergi perang, tapi aku ingin meminta pendapatmu.” Nabi berkata, “Apakah ibumu masih hidup?” Orang itu menjawab, “Ya.” Nabi berkata, “Tinggallah dengannya, karena Taman (surga) terletak di bawah kakinya.” (Haqq & Newton 1996: 12).
[42] lemah.
Para feminis, reformis, dan liberal Muslim seringkali mengutip kedua hadis di atas untuk mendukung pandangan mereka bahwa Islam mengajarkan kesetaraan kedudukan lelaki dan wanita dan hadis² yang bertentangan merupakan karangan generasi Muslim berikutnya saja. Akan tetapi, kedua hadis ini menasehatkan para putra untuk berbaik hati pada ibu² mereka, tapi tidak menasehatkan para suami untuk berbaik hati pada istri² atau para ayah pada anak² perempuan mereka. Terlebih lagi, kedua hadis ini tidak dianggap sebagai hadis sahih karena Bukhari dan Muslim tidak memasukkan kedua hadis itu ke dalam koleksi mereka. Hanya Ibn Majah dan al-Nasa’i saja yang menyatakan hal itu. Kedua hadis ini jarang sekali dikutip para ulama dan ahli Islam.
Setelah melihat ayat² Qur’an dan ahadis, masih saja para ahli Islam ngotot menyatakan Islam membela wanita dan memberi wanita kedudukan yang sama dengan pria. Pengakuan seperti ini sukar dipercaya. Mereka berusaha percaya Islam itu egalitarian (menganggap kedudukan wanita dan pria sama) dengan cara menyangkal ajaran²nya tentang perlakuan terhadap wanita. Hal ini jelas hanyalah angan² mereka saja dan bukan fakta. Usaha² seperti ini tidak menguntungkan pihak Muslimah. Para Muslimah yang tinggal di negara Barat tidak terangkat derajatnya karena usaha ini, tapi karena masyarakat Barat memang memberi hak yang sama dan sederajat terhadap pria dan wanita. Akan tetapi Muslimah yang hidup di lingkungan umat Muslim masih saja terkekang dengan ajaran² Muhammad akan wanita.
Bab 10 – Ajaran Muhammad tentang Nikah
Setelah membahas kedudukan Muslimah dalam Islam, aku akan menelaah efek ajaran² ini pada kehidupan Muslimah, terutama pada pernikahan secara umum, dan poligami secara khusus. Tiada yang lebih banyak dikritik dalam Islam selain masalah poligami. Para pengritik Islam menunjuk banyak alasan yang memperlihatkan Muslimah merupakan warga kelas dua di dunia Islam, di mana mereka tak punya hak dan derajat yang sama tinggi dengan lelaki. Akan tetapi para Muslim dan Muslimah ahli Islam tidak mengikutsertakan poligami sebagai bukti jelas akan penindasan Islam terhadap wanita. Karena inilah maka para pengamat modern mengamati secara khusus masalah poligami dalam penelitian² mereka. Praktek poligami dalam masyarakat Muslim di jaman modern ini sangat banyak berkurang dibandingkan jaman dulu karena masalah ekonomi (satu pria harus menafkahi lebih dari satu rumah tangga). Selain itu, beberapa negara Muslim seperti Tunisia dan Turki melarang poligami. Negara² lain seperti Mesir membuat aturan ketat akan poligami agar Muslim keberatan melakukannya. Akan tetapi, negara² Muslim lainnya tidak melakukan pelarangan poligami.
Definisi Nikah
Pernikahan merupakan kontrak sipil yang bersifat permanen, berlaku seketika, dan tidak tergantung perubahan keadaan, dilakukan oleh dua orang yang berlawanan sex sebagai kebersamaan yang menguntungkan kedua belah pihak dan untuk memiliki keturunan.” (Verma 1988: 56). Dua orang yang harus menandatangi kontrak nikah tidak selalu harus pihak suami dan istri. Menurut pandangan aliran Shaf’I dan Maliki, “Wanita itu sangat tidak mampu untuk menandatangani kontrak nikah bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain meskipun walinya telah mengijinkannya untuk melakukan hal itu. Seorang ayah dapat menandatangani kontrak nikah bagi putrinya yang perawan tanpa harus minta ijin dari putrinya terlebih dahulu, tidak peduli berapapun usia ptrinya.” (Verma 1998: 24). Akan tetapi, aliran Hanafi dan Hanbali memberi wanita hak untuk menyatakan persetujuan. Kebanyakan negara² Arab dan Afrika Muslim mengikuti aliran Shaf’I dan Maliki, sedangkan negara² Pakistan, India, dan Afghanistan mengikuti aliran Hanafi dan Hanbali. Tiada batas umur minimum dalam pernikahan Islam. Hal ini karena Nabi Muhammad menikahi Aisyah di usia 6 tahun dan menidurinya di usia 9 tahun. Para Muslim ahli Islam di jaman modern menetapkan batas usia nikah Muslimah karena pengaruh budaya Barat di negara² Muslim. (Lois 1985: 61).
Tiga Jenis Pernikahan dalam Islam
Terdapat tiga jenis pernikahan dalam Islam:
1. Pernikahan Monogami: hubungan sah antara satu pria dan satu wanita.
2. Pernikahan Poligami: hubungan sah antara satu pria dan lebih dari satu wanita, tidak boleh lebih dari empat istri dalam waktu yang sama.
3. Pernikahan Mut’ah [43]: hubungan nikah sah antara satu pria dan satu wanita. Jenis nikah ini berbeda dengan nikah lainnya karena tidak bertujuan untuk menikah secara langgeng, tapi hanya untuk pemuasan berahi secara halal saja. Hal ini diijinkan oleh Nabi, tapi dihapus oleh Kalifah kedua Umar ibn al-Khattab. Mut’ah dianggap haram oleh Islam Sunni, tapi halal bagi Islam Syiah dan tetap dilakukan sampai hari ini. Di Iran (mayoritas Muslim Syiah), diperkirakan sekitar 70% istri mut’ah adalah pelacur. (Woodsmall 1983: 119).
[43] Mut’ah berarti kenikmatan. Ini juga termasuk dalam jenis pernikahan poligami.
Pernikahan Poligami
Islam tidak menciptakan pernikahan poligami, tapi “Islam mengkhususkan pernikahan poligami hanya untuk Muslim saja” (Mernisi 1987: 80). Professor Maroko bernama Fatima Mernissi berkata bahwa poliandri “pernikahan antara satu wanita dengan beberapa pria” lebih sering dilakukan daripada poligami “pernikahan satu pria dengan beberapa wanita.” Nabi khawatir akan nasib wanita yang dicerai, jadi janda, atau anak² yatim yang tak nikah, sehingga dia membuat aturan di mana pria bisa melindungi mereka, tidak hanya sebagai saudara tapi juga sebagai suami (Mernissi 1987: 80)
Poligami Sebelum Jaman Islam
Aisyah berkata: terdapat empat jenis pernikahan sebelum Islam. (al-Sabaq 1981: 18).
1. Pernikahan orang jaman sekarang: Pria melamar wanita, dan dia bayar mahar dan menikahinya.
2. Seorang pria berkata pada istrinya, ketika istrinya sudah selesai datang bulan, mengirim istrinya untuk ini dan itu dan berhubungan sex dengan pria lain. Pernikahan ini disebut sebagai “al-Istipda’a”. [45]
3. Nikah al-Raht: seorang wanita memanggil sejumlah pria ke rumahnya dan berhubungan sex dengan mereka. Jika wanita itu lalu hamil, dia akan memanggil semua pria itu ke rumahnya, dan dia akan memberitahu mereka bahwa dia mengenal mereka semua dan jadi hamil dan akan melahirkan bayi. Ini adalah anak pria yang ini atau itu.
4. Pernikahan keempat adalah di mana banyak pria berhubungan sex dengan satu wanita dan wanita itu tidak akan membatasi siapapun yang ingin berhubungan sex dengannya. Wanita seperti ini adalah pelacur yang memberi tanda bendera di depan pintu² rumah mereka sebagai tanda ajakan mereka. Jika wanita ini melahirkan anak, orang² akan melihat anak itu mirip siapa. Pria yang wajahnya mirip anak itu akan disebut sebagai ayahnya.
Semua jenis pernikahan di atas tidak ada yang serupa dengan pernikahan poligami Islam. Hal ini membenarkan pendapat Fatima Mernissi bahwa Islam menciptakan poligami hanya untuk Muslim saja.
[45] Hubungan sex.
Poligami dalam Islam
Qur’an 4:3 menyatakan:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat ini tidak hanya mengijinkan Muslim punya empat istri dalam waktu bersamaan, tapi juga mengijinkannya untuk memiliki gundik atau budak sex sebanyak apapun yang dikehendakinya. Ayat ini dinyatakan setelah Perang Uhud di mana banyak Muslim mati dan meninggalkan para janda dan anak² yatim. Di Uhud, sekitar 70 Muslim terbunuh. Karena itulah, satu²nya alasan tepat dilakukannya poligami adalah sebagai pemecahan masalah janda dan anak yatim karena akibat perang. Akan tetapi, para Muslim ahli Islam kemudian mencari-cari alasan lain diluar perang untuk menghalalkan penerapan poligami. Menurut al-Ghazali, poligami itu perlu karena memuaskan naluri berahi manusia. (Mernissi 1987: 47). Bagi al-Ghazali, Muslimah tidak perlu memuaskan naluri berahinya, “… karena pria terbeban dengan dorongan gairah sex yang besar sehingga satu wanita saja tidak cukup untuk menjamin kesucian pria (suci dari tindakan zinah), sehingga dianjurkan agara pria menambah istri lebih banyak. Akan tetapi jumlahnya tidak boleh lebih daripada empat.” (Mernissi 1987: 47).
Dalam membahas Q 2:223, Mernissi berpendapat bahwa Islam mengijinkan Muslim untuk menyodomi istrinya, meskipun istri tidak mau. Ayat ini dinyatakan ketika seorang Muslimah Ansar (Medinah) tidak mengijinkan suaminya menyodomi dirinya. (Mernissi 1993: 145). Muslimah ini mengunjungi Umm Salama (istri Nabi dan wakil para wanita) dan memintanya untuk membahas masalah ini dengan Nabi. Ketika Umm Salama menyampaikan hal ini pada Nabi, turunlah Q 2:223 dari surga yang menyatakan, “
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Ayat ini memberi hak pada pria untuk memilih posisi persetubuhan yang mereka inginkan dan termasuk menyodomi istrinya tanpa ijin istri. (Mernissi 1993: 146).
Syd Qutub tidak menyatakan hal yang sama seperti al-Ghazali mengenai kesucian Muslim, tapi menggunakan alasan wanita mandul sebagai penghalalan bagi Muslim untuk menambah istri. Jika istri mandul, maka suami Muslim punya dua pilihan:
1. Menceraikan istri dan menikahi wanita lain untuk mengabulkan keinginan suami punya anak, atau:
2. Tetap menikahi istri dan menikahi wanita lain. (Daagir 2002: 24).
Alasan Qutub ini seringkali digunakan banyak Muslim modern untuk melakukan poligami, tapi alasan ini sangat lemah karena tidak mengikutsertakan kemungkinan bahwa suamilah yang mandul dan bukan istri. Terlebih lagi, jika benar alasan poligami adalah agar punya anak, maka seharusnya Qur’an juga menyatakan keterangan yang serupa sebagai syarat poligami.
Al-Sabuni yakin bahwa poligami mencegah wanita untuk melakukan pelacuran. Dia berpendapat bahwa ketika Jerman menghadapi masalah jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria di akhir PD II, maka poligami dilakukan untuk memecahkan masalah. (Daagir 2002: 24). Pendapat ini membenarkan ketetapan poligami dalam Qur’an, akan tetapi jika memang begitu, maka poligami tidak bisa ditetapkan pada saat tiada masalah dalam perbandingan jumlah pria dan wanita.
Alasan pembenaran lain akan poligami yang juga sering dipakai Muslim adalah jumlah wanita di dunia empat kali lebih banyak daripada jumlah pria. Hal ini menimbulkan masalah dan poligami merupakan cara tepat memecahkan masalah, begitu menurut mereka. Tapi faktanya jumlah pria dan wanita di dunia adalah seimbang dan tiada data statistik apapun yang mendukung pendapat Muslim tersebut. Terlebih lagi jumlah Muslim yang punya istri sampai empat lebih sedikit daripada Muslim yang tidak berpoligami. Selain itu, masalah keuangan mencegah banyak Muslim untuk menikahi lebih dari satu wanita.
Alasan lain yang juga sering diajukan Muslim masa kini adalah pria sanggup menghasilkan keturunan di usia yang lebih lama daripada wanita. Wanita umumnya tidak bisa hamil lagi setelah usia 50 tahun, sedangkan pria masih bisa menghasilkan keturunan sampai usia 70 tahun.
Rashi Radia, Muslim ahli Islam, secara terang²an menyatakan bahwa satu wanita saja tidak mampu memuaskan nafsu berahirnya. Tapi dia tidak menerangkan mengapa pria butuh lebih banyak wanita untuk memuaskan nafsu berahinya. (Daagir 2002: 25).
Poligami dalam Islam selalu berhubungan dengan kepercayaan bahwa wanita adalah sumber kenikmatan dan hiburan bagi pria. Sejarah Islam menunjukkan bahwa para wanita digunakan oleh partner prianya sebagai penghibur pria. Contohnya bisa dilihat di berbagai dongeng 1001 Malam Arabia, juga di Kitab al-Aghani yang ditulis oleh Abi Al-faraj al-Asfahani tentang jariyah (budak sex wanita) milik para Kalifah Abbasid, dan kisah hadis Tirmizi tentang tujuh puluh dua houri (bidadari perawan) di surga bagi Muslim. Qur’an menerangkan bahwa houri adalah wanita² yang cantik, perawan abadi, dan menyenangkan Muslim. (Mernissi 1988: 71). Penjabaran tentang huri di Qur’an berdampak besar pada hubungan antara pria dan wanita dalam Islam. Pria memandang istrinya sebagai makhluk yang lebih rendah, sama seperti para huri yang cantik, setia, dan senantiasa menawarkan kenikmatan sex.
Q 44:51-54
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman,
(yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air;
mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan,
demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.
Q 55:56-58
Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.
Q 55:72
(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Q 78:33-34
dan gadis-gadis remaja berdada montok (kawa’iba) [46] yang sebaya,
dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman).
[46] Montok dan kencang, tidak melorot. (Haqq & Newton 1996: 16)
Mishakat al-Masabih, buku I, hadis no. 62
Pada wanita yang tidak membuat susah suaminya di dunia ini, istri huris bermata jernih suaminya tidak akan berkata pada istri itu: ‘Jangan bikin suamimu susah. Semoga Allâh menghancurkanmu. Suamimu hanyalah tamu lewat bagimu dan dalam waktu dekat dia akan meninggalkanmu untuk datang pada kami.”
Sang Nabi ditanyai: ‘Apakah kami akan berhubungan sex di Surga?’ Nabi menjawab: ‘Ya, demi dia yang memegang jiwaku dalam tanganNya, dan hubungan sex dilakukan secara dahman, dahman (hubungan sex yang penuh sodokan dan suara ribut). Dan ketika hubungan sex selesai, wanita akan kembali bersih dan perawan lagi.” (Haqq & Newton 1996: 17). [47]
[47] Ibn-Kathir, vol. VIII, hal. 11, tafsir Q 56:35-37, diterbitkan oleh Dar Ash-Sha’b, catatan kaki editor oleh pihak penerbit yang menjelaskan arti kata ‘dahman.’
Hadis Tirmizi menjanjikan Muslim tujuhpuluh dua huri di Surga bagi ditambah istri²nya dari dunia fana.
tambahan keterangan:
TIRMZI, vol. 2, hal. 138:
Setiap pria yang masuk surga akan diberi 72 houris; tidak peduli dalam usia berapa dia mati, ketika dia masuk surga, dia akan berusia 30 tahun dan tidak akan pernah menjadi tua. Seorang pria yang masuk surga akan diberi daya kejantanan (untuk ngeseks) yang sama dengan 100 orang.
Hadist yang sama juga dikutip oleh Ibn Kathir (meninggal tahun 1373 CE ) dalam tafsir Qurannya tentang Surah Al-Rahman (55), ayat 72: "Nabi Muhammad terdengar berkata, “Hadiah balasan terkecil bagi orang-orang di surga adalah tempat tinggal di mana ada 80,000 budak dan 72 istri, beratapkan mutiara, aquamarine dan ruby, selebar jarak antara Al-Jabiyyah [di Damaskus] dan Sana’a [Yemen]’.”
Pertanyaan yang banyak mengganggu setiap Muslim ahli Islam adalah: Dapat apakah para Muslimah yang wafat tanpa pernah nikah? Qur’an dan Hadis diam saja akan hal ini. Diamnya kitab² Islam itu tentunya beralasan, dan para ahli Islam ortodox menganggap “para wanita tidak punya jiwa/hati.” (Smith & Haddad 2001: 39). Dengan begitu, wanita dianggap sama seperti binatang, yang hidupnya berakhir berakhir setelah mati. “Hubungan paling mendasar dalam masyarakat Islam bukanlah hubungan antara pria dan wanita, tapi antara pria dan Allâh: dan sama sekali bukanlah antara wanita dan Allâh.” (ibid). Ajaran Islam tentang jawariyah, houri, dan nikah menunjukkan dengan jelas bahwa Muslim menganggap poligami sebagai cara untuk memuaskan nafsu berahinya. Muslimah yang kedudukannya lebih rendah dibandingkan houri, dianggap sebagai obyek hiburan sementara dan kesenangan bagi pria di dunia fana ini. Nanti setelah Muslim mati, dia akan menikmati kesenangan sex abadi bersama tujuhpuluh dua houri perawan di Surga.
Qur’an, 4:129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat di atas dengan jelas berhubungan tentang perlakuan adil terhadap para istri dalam pernikahan poligami. Ayat itu menyatakan bahwa suami tidak mungkin bisa berlaku adil terhadap para istri, meskipun sudah berusaha untuk itu. Para ahli Islam modern menggunakan ayat ini untuk menyatakan “perlakuan adil tidak mungkin bisa dilaksanakan.” (Yamani 1981: 99). Di negara² Tunisa dan Turki, poligami dilarang dan ayat di atas digunakkan untuk melarang poligami. Para modernis Islam mengajukan banyak faktor untuk menunjukkan poligami tak layak lagi dilakukan di jaman modern. Alasan paling utama adalah faktor tak cukup uang untuk membiayai lebih dari satu keluarga. Qur’an menuntut suami menafkahi istri²nya secara sama dan adil. Dengan begitu, suami harus memberi setiap istri satu rumah, kekayaan sendiri, dan memenuhi kebutuhan² lain seperti pendidikan bagi anak² setiap istri dan kehidupan yang lebih baik bagi masing² istri. Di jaman sekarang, pada umumnya seorang pria tidak mampu melakukan hal ini. Karena itulah di umat Muslim di jaman modern ini jarang melakukan poligami.
Fatima Mernissi mengatakan bahwa meskipun Qur’an menyatakan persyaratan untuk melakukan poligami, tapi usuran poligami bersangkutan dengan “perasaan subyektif, yang sukar untuk dibag-bagi secara adil.” (Mernissi 1987: 47). Nabi Muhammad sendiri mengakui dalam sebuah hadis “Pilihan Hati” bahwa dia tidak dapat bertindak adil terhadap istri²nya. Menurut Hadis ini, sang Nabi mencintai istrinya Aisyah lebih daripada istri²nya yang lain. Para ahli Islam mencoba mengatakan hadis ini hanya menyatakan tentang cinta dan bukan bersikap adil.
Faktor² yang Mendorong Poligami dalam Masyarakat Muslim
Selain aturan poligami halal dalam Syariah Islam, ada faktor² sosial lain yang mendorong Muslim untuk melakukan poligami. Yang paling utama dari faktor² sosial ini adalah kehormatan, istri mandul, dan sunat Muslimah. Mernissi menyatakan, “konsep keperawanan dan kehormatan suami terletak diantara kedua kaki wanita.” (Mernissi 1988: 34). Jika istri tidak mengeluarkan darah saat hubungan pertama pernikahan, maka istri dianggap tidak perawan lagi dan gagal ujian sosial, “istri lalu ditolak suami dan keluarga suami, dan diserahkan kembali ke keluarga istri.” (Yamani 1981: 149). Dalam beberapa kasus, suami tetap menikahi istri, tapi lalu cari istri lain yang lulus ujian keperawanan. Dengan begitu tentunya istri kedua lebih berharga di mata suaminya dibandingkan istri yang pertama.
Sunat Muslimah dalam Islam
Pemotongan kelamin wanita masih dilakukan di kebanyakan negara² Arab dan Afrika Utara seperti Sudan, Mesir, Eritria, dan Somalia. Praktek sunat Muslimah ini dianjurkan oleh Nabi dan tercatat sebagai Sunnah. Alasan utama penyunatan wanita, menurut para ahli hukum Islam adalah untuk mengekang birahi dan dorongan sexual wanita itu. Mereka berdalih bahwa para wanita jaman sekarang seringkali melihat begitu banyak godaan sex yang akhirnya akan membuat masyarakat jadi rusak moral. Nabi Muhammad menyatakan, “Sunat merupakan kewajiban bagi pria dan penjagaan kehormatan bagi wanita.” Muhammad juga menganggap sunat Muslimah membuat wanita lebih enak untuk dinikmati asalkan tidak terlalu banyak bagian kelamin wanita yang dipotong. Umm ‘Atiyya al-Ansarit mengisahkan bahwa seorang wanita sering melakukan penyunatan di Medinah dan Nabi berkata padanya, “Jangan memotong terlalu banyak, agar wanita lebih disukai dan lebih nurut pada suami.” (al-Bukhari, Libas 63, 64, Isti’ dsan 51; Muslim, Tahara 49, Shaltut, Khitan al-untha, dalam Liwa’ al-Islam, 1951: 55).
Sunat Firaun atau Sudan “memotong labia mayor dan labia minor setelah seluruh klitoris dipotong.” (Lois, 1985: 115). Akibat dari pemotongan habis² ini adalah “wanita tidak bisa lagi menikmati hubungan sex secara normal dan tidak bisa melahirkan anak. Dan jika wanita ini tidak bisa lagi memuaskan nafsu berahi suami, maka suami akan menggantinya dengan istri yang lebih muda dan sehat.” (ibid: 117). Dalam kasus lain, suami bisa tetap menikahi istrinya karena sungkan dengan keluarga istri atau khawatir reputasinya jadi jelek dalam masyarakat, tapi dia bisa menikahi wanita lain.
Bab 11 – Muhammad sang Poligamis
Kehidupan pernikahan Nabi Muhammad membuat banyak umat Muslim dan para ahli Islam jaman modern bingung. Salah satu tugas utama setiap penulis Muslim adalah menghalalkan atau membenarkan pernikahan² poligami sang Nabi. Setiap Muslim wajib meniru contoh perbuatan Nabi di segala kegiatan hidupnya. Karena alasan ini, para penulis Muslim modern selalu saja mencari-cari berbagai alasan untuk membenarkan pernikahan² sang Nabi. Penulis Muslim Mesir bernama Al-Sabuni merangkum semua alasan pembenaran yang paling sering diajukan dalam empat alasan utama (Daagir 2002: 23):
1. Alasan Pendidikan
Alasan utama mengapa sang Nabi memiliki banyak istri adalah untuk menghasilkan guru² wanita untuk mendidik para Muslimah dalam hal hukum, sosial, dan spiritual. Para Muslimah sukar untuk berkonsultasi dengan Nabi tentang masalah² pribadi, misalnya menstruasi, kehamilan, kebersihan, dan perihal pernikahan.
2. Alasan Hukum
Untuk menghapus kebiasaan² Jahiliyah seperti pengangkatan anak atau adopsi. Nabi menikahi istri anak angkatnya untuk membatalkan adopsi anak.
3. Alasan Sosial
Nabi menikahi anak² perempuan Kalifah pertama (Abu Bakr) dan Kalifah kedua (Umar), untuk menyatukan keluarga² para sahabat dan penerusnya.
4. Alasan Politik
Nabi menikahi wanita² dari berbagai suku yang berbeda untuk mendirikan persekutuan antar suku.
Ahli² Islam modern seperti Muhammad Abdu dan Rashid Rida menerima empat alasan utama yang diajukan Al-Sabuni, dan menambahkan bahwa satu²nya wanita yang dinikahi Nabi karena alasan ketertarikan pribadi adalah istri pertamanya yakni Khadija. Rida menulis bahwa, “Jika sang Nabi, damai dan doa menyertainya, ingin mencari kenikmatan dan kepuasan sex seperti yang diinginkan para raja dan pangeran, maka dia tentunya tidak akan menikahi janda² tua dan wanita² cerai, tapi wanita² perawan dan muda.” (ibid: 24). Menurut Sabuni, satu²nya wanita perawan yang dinikahi Muhammad adalah putri sahabat dan penerusnya Abu Bakr. Muhammad melakukan ini sebagai hadiah bagi Abu Bakr karena perbuatan baiknya dan lalu menunjuk Abu Bakr sebagai Kalifah pertama. (ibid).
Mernissi menolak anggapan kebanyakan pernikahan Nabi berlangsung untuk tujuan persekutuan antar suku. (Mernissi 1987: 54). Dia menyatakan bahwa kebanyakan pernikahan Nabi terjadi karena alasan rasa tertarik akan kecantikan dan keindahan wanita. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pernikahannya dengan Safiya bint Huyay (wanita Yahudi ningrat suku Khaybar, yang sukunya diserang dan dijajah Muhammad), Rayhana bint Zaid (wanita Yahudi sangat cantik dari suku Qurayza, yang sukunya dibantai dan diperbudak Muhammad), Maria Kuptiah (wanita Kristen Koptik Mesir yang sangat cantik rupawan, pemberian dari penguasa Mesir bagi Muhammad), Juwariya bint al-Harith (wanita Yahudi ningrat suku Mustaliq, yang sukunya diserang dan dijarah Muhammad; Juwariya sangat cantik dan siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta padanya), Zainab bint Jahash (pernikahan skandal, karena Zainab adalah istri Zaid, anak angkat Muhammad), dan Aisyah putri Abu Bakr (pernikahan bermasalah karena Muhammad menikahi Aisyah kala Aisyah masih berusia 6 tahun dan memerawaninya kala Aisyah berusia 9 tahun). [48]
[48] Muhammad berusia 53 tahun ketika memerawani Aisyah (9 tahun).
Hadis Sahih Bukhari, buku 7, volume 7, no. 89
Sang Nabi menulis (kontrak nikah) bersama Aisyah saat Aisyah berusia enam tahun dan menyetubuhinya saat dia berusia sembilan tahun dan dia terus hidup bersama Nabi selama sembilan tahun (sampai Nabi wafat).
Rida mengakui bahwa dia tidak menemukan alasan atau pesan moral apapun dalam pernikahan Nabi denga Maimuna bint Al-Harith (istri Nabi yang terakhir). (Daagir 2002: 2). Jika kita memasukkan Khadija ke dalam daftar, maka jumlah istri Nabi mencapai enambelas orang, delapan diantaranya dinikahi dengan alasan yang berbeda dari yang diajukan para ahli Islam modern. Tiada satu pun ayat Qur’an atau hadis yang mengatakan Nabi menikahi istri²nya dengan tujuan mempersatukan berbagai suku. Sebaliknya banyak hadis yang menyatakan Nabi berkata bahwa dia menyukai wanita dan parfum. (ibid: 44). Nabi menyukai parfum karena dia yakin parfum meningkatkan nafsu berahi. Karena alasan inilah, maka Nabi melarang Muslimah memakai parfum ketika pergi keluar meninggalkan rumah.
Sang Nabi memuji-muji cucunya yakni Hasan ibn Ali, karena Hasan doyan kawin cerai. Hasan menikahi 200 istri (Mernissi 1987: 50). Dia seringkali menikahi empat istri dalam waktu yang bersamaan dan lalu menceraikan keempat istrinya untuk menikahi empat istri lain. Sang Nabi berkata padanya, “Kau mirip dengan aku secara fisik dan moral.” (ibid).
Nabi sendiri gagal untuk bersikap adil terhadap wanita. Contoh jelas bisa dilihat dalam kasus Mariah Kuptiah yang menunjukkan tidak mungkin bagi seorang pria untuk bersikap adil terhadap para istri. Sang Nabi tertangkap basah oleh istrinya Hafsa, ketika sedang bersetubuh dengan Mariah di rumah Hafsa. Ketika Hafsa lalu berterika marah pada Nabi, “Wahai Nabi Allâh, di dalam kamarku, di ranjangku, dan di hariku?” (ibid: 55).
Aisyah, istri kesayangan Nabi, mengakui bahwa dia membenci istri² Muhammad dan dalam beberapa kejadian, dia berkelahi dengan mereka secara verbal dan fisik. Suatu hari, Aisyah datang menemui Nabi dengan makanan di tangannya. Dia mendapati istri Nabi yang lain yakni Saodah binti Zama’ah sedang bersama Nabi. Aisyah berkata pada Saodah, “Makan sebelum aku melumuri wajahmu dengan makanan.” Ketika Saodah tak menjawab, Aisyah melemparkan makanan pada wajahnya. Nabi tertawa dan menyuruh Saodah melakukan hal yang sama terhadap Aisyah (al-Sabag 1981: 117).
Mernissi mengutip dua perkataan Aisyah yang mengakui poligami mendatangkan kebencian dan kedengkian diantara para istri. (Menissi 1987: 55).
Aku tidak pernah merasa secemburu seperti yang kurasakan pada Maria. Hal ini karena Maria adalah wanita berambut ikal yang sangat cantik jelita. Nabi sangat tertarik padanya. Awalnya, Maria tinggal dekat kami dan Nabi menghabiskan waktu siang malam bersamanya sampai kami protes dan Maria jadi ketakutan.
Nabi sedang berada di kamarku ketika Juwariyah datang untuk menanyakan tentang kontrak. Demi Tuhan, aku benci dia ketika aku melihatnya datang ke arah Nabi. Aku tahu bahwa Nabi akan melihat apa yang kulihat (kecantikannya).
Nabi juga mengakui bahwa poligami menyusahkan istri²nya. Ketika dia mengetahui bahwa menantunya Ali ibn Abi Talib ingin menikahi wanita lain, dia berkhotbah di mesjid saat sholat Jum’at dan berkata, “Aku tak akan mengijinkan Ali ibn Abi Talib, dan kuulangi, aku tak akan mengijinkan Ali menikahi wanita lain kecuali jika dia menceraikan putriku. Putriku adalah bagian dari diriku, dan apa yang menyakitinya, menyakitiku pula.” (ibid: 70).
(Lihat juga ini: Fatima Mau Dipoligami, Muhammad Kebakaran Jenggot)
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga."(Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Penulis Muslim Modern Tidak Mendukung Poligami
Beberapa penulis Muslim modern seperti Dr. Nawal Al-Sa’dawi, Fatima Mernissi, dan Gasm Amin, tidak mendukung praktek poligami. Fatima Mernissi berkata, “Poligami merupakan cara bagi pria untuk menghina wanita dengan menganggapnya sebagai obyek sex.” (ibid: 48). Sudah merupakan pandangan umum di Maroko bahwa suami melakukan penghinaan terhadap istri dengan menikahi wanita lain. Masyarakat Sudan juga berpendapat sama karena mereka yakin bahwa penghinaan terberat yang bisa dilakukan terhadap istri adalah dengan cara menikahi wanita lain. Di Sudan dan Mesir, istri kedua disebut sebagai Aldara, yang berarti “Pelaku Kejahatan”. Dr. Nawal Al-Sa’dawi melihat bahwa penindasan terhadap Muslimah bersangkutan dengan sistem kelas patriarkhi di mana Muslim berhak untuk memperbudak, menindas, dan menggunakan wanita untuk kesenangan pria saja. (Yamani 1985: 83). Gasm Amin menyatakan bahwa sebenarnya Q 4:34 tidak menganjurkan poligami karena sikap adil terhadap para istri tidak mungkin terpenuhi. (Daagir 2002: 25).
Kehidupan pernikahan Nabi Muhammad menunjukkan pada kita bahwa poligami menyulut kebencian, kedengkian, pertikaian, dan kekacauan dalam keluarga. Terlebih lagi, Nabi sendiri tidak menganjurkan praktek poligami karena dia melarang menantunya (Ali) untuk menikahi wanita lain selain istrinya fatima (putri Nabi). Jika Nabi adalah contoh ideal yang harus dituruti semua Muslim, mengapa Muslim tidak mengikuti contoh Nabi melarang poligami? Bahkan ayat Qur’an tidak bisa dipakai sebagai ijin untuk melakukan poligami karena ayat itu mencantumkan kondisi yang tidak mampu dipenuhi bahkan oleh Nabi sendiri. Negara² Muslim seperti Tunisia dan Turki menghukum berdasarkan hukum siapapun yang berani melakukan poligami. Hukum Mesir yang dikenal sebagai Hukum Jihan Al-Sada’at menganjurkan istri untuk menceraikan suami, mengambil hak milik rumah jika suami menikahi wanita lain saat istri sedang mengandung (ibid).
Akan tetapi, umat Muslim tentunya tidak akan menyerah dan tak melakukan praktek poligami dan perendahan wanita. Salah satu sebabnya adalah karena banyak sekali hadis² yang merendahkan wanita dan bahkan menyamakan wanita sederajat dengan binatang. Selain itu, bentuk pernikahan Islam sendiri adalah sama seperti sistem perbudakan. Ahli² Islam ternama seperti Saadawi dan Ghazali juga mengakui bahwa pernikahan Islam merupakan bentuk perbudakan. Dalam bukunya yang berjudul Hidden Face of Eve (Wajah Hawa yang Tersembunyi), Sadaawi menulis, “Badan pernikahan berlaku sangat berbeda bagi pria dan bagi wanita, dan hak² suami sangat berbeda dengan hak² istri. Malah sebenarnya tidaklah tepat untuk menyebut ‘hak² istri’, sebab di bawah Syariah Islam, Muslimah tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak kecuali jika kita beranggapan bahwa seorang budak memiliki hak² di bawah sistem perbudakan. Muslimah dalam pernikahan Islam sama halnya seperti budak dalam sistem perbudakan, atau rantai pembelenggu budak bagi seorang budak.” (Haqq & Newton 1996: 22). Al-Iman al-Ghazali, ahli Islam yang dianggap terbesar oleh umat Muslim setelah Nabi Muhammad, menyimpulkan pernikahan Islam sebagai berikut, “Kata akhir yang paling memuaskan adalah pernikahan merupakan suatu bentuk perbudakan (riq). Wanita adalah budak pria dan, karena itu, tugas wanita adalah tunduk sepenuhnya pada suami terhadap apapun yang diperintahkan suami padanya. Sebagaimana yang dikatakan Muhammad sendiri, ‘Seorang wanita yang pada matinya mendapatkan penghargaan sepenuhnya dari suaminya, akan mendapatkan tempatnya di Surga’.” (ibid: 22).
Sebagai kesimpulan, aku ingin mengingatkan bahwa masalah yang dihadapi Muslimah dalam Islam tidak bisa diselesaikan melalui reformasi atau sikap mempertanyakan atas tradisi Islam. Kedua sikap ini tidak akan memberi jalan keluar yang cepat pada masalah yang dihadapi Muslimah. Kebanyakan wanita tidak akan meninggalkan agamanya atau setuju bahwa tradisi budayanya tidak sesuai lagi dengan jaman modern. Kebanyakan Muslimah yakin bahwa Qur’an dan ahadis merupakan wahyu dan perintah illahi. Meskipun begitu, kebanyakan Muslimah juga ingin keluar dari kekangan hukum Syariah. Di negara² Tunisia dan Turki, Muslimah menikmati banyak kebebasan dan persamaan hak dengan kaum pria karena Pemerintah kedua negara ini tidak berdasarkan Syariah Islam, tapi berdasarkan hukum sekuler. Agama Islam di kedua negara ini merupakan urusan pribadi warga saja, dan tidak menjadi bagian dari hukum negara. Pemisahan unsur agama dengan badan Pemerintahan merupakan pemecahan masalah terbaik bagi para wanita di dunia Muslim. Hukum Syariah memberikan hak bagi Muslim untuk menceraikan istrinya kapan saja, memukul istri yang tidak taat, menikahi banyak istri, mencegah pendidikan bagi kaum wanita, melarang wanita untuk memiliki kekuasaan di negara Islam, dan bahkan membunuh wanita jika dianggap menodai kehormatan keluarga (honor killing). Penegak hukum Syariah tidak menciptakan hukum² ini, karena semua hukum ini tercantum dalam Qur’an dan Hadis. Tidak peduli bagaimana penafsiran Muslim, hukum itu tetap dilaksanakan untuk membenarkan perlakuan tak manusiawi terhadap kaum wanita. Aku juga tidak yakin dunia Muslim akan mau menyingkirkan ayat² dan hadis² penindasan wanita. Di mana Syariah Islam berkuasa, Muslim bebas untuk menikahi lebih dari satu istri, memukul istrinya yang tak taat, menceraikan istrinya kapan saja. Tiada hukum Syariah apapun yang akan menghukum suami melakukan hal² tersebut. Hanya di bawah Pemerintahan sekuler saja Muslimah dilindungi dari penerapan hukum² keji tersebut.
===================
Jangan lupa baca (klik):
Perkawinan Islam dan Penghalalan Pelacuran
Bab 12 – Pernikahan² Nista Muhammad
Di bab ini aku akan membahas hubungan Muhammad yang penuh masalah dengan wanita²nya:
1. Maria Kuptiah, budak wanita Kristen Koptik Mesir, pemberian dari oleh Raja Maquoqis dari Mesir kepada Muhammad.
2. Safiya bint Huyyay, gadis remaja Yahudi
3. Zainab bint Jahash, saudara sepupu Nabi dan istri dari putra angkat Nabi yakni Zaid;
4. Pernikahannya dengan Aisyah, putri sahabat dan pengganti Nabi pertama yakni Abu Bakr;
Menurut para ahli Islam, Maria Kuptiah bukanlah istri Nabi atau “Ibu umat Muslim” karena Maria tetap memeluk agama Kristen dan tetap berstatus budak. Mariah melahirkan seorang putra bernama Ibrahim, yang meninggal dunia di usia 2 tahun. Buku² Sira (biografi Nabi) mengisahkan nafsu berahi Nabi terhadap Maria secara dramatis. Hafsa, salah seorang istri Nabi, menangkap basah Nabi sedang berhubungan sex dengan Maria di ranjangnya.
(O Prophet! Why bannest thou that which Allah hath made lawful for thee…) [66:1].
terjemahan:
(Wahai, Nabi! Mengapa kau mengharamkan hal yang dihalalkan Allah bagimu…) (Qur’an 66:1)
Muhammad ibn Mansur al-Tusi informed us> 'Ali ibn 'Umar ibn Mahdi> al-Husayn ibn Isma'il al-Mahamili> 'Abd Allah ibn Shabib> Ishaq ibn Muhammad> 'Abd Allah ibn 'Umar> Abu'l-Nadr, the client of 'Umar ibn 'Abd Allah> 'Ali ibn 'Abbas> Ibn 'Abbas>
terjemahan:
Ini keterangan rantai penyampai cerita.
'Umar who said: “The Messenger of Allah, Allah bless him and give him peace, entered the house of Hafsah along with the mother of his son, Mariyah.
terjemahan:
‘Umar berkata, “Rasul Allah, semoga Allah memberkati dan memberimu damai, masuk ke rumah Hafsah bersama Mariyah, ibu anak lakinya.
When Hafsah found him with her [in an intimate moment], she said: 'Why did you bring her in my house? You did this to me, to the exception of all your wives, only because I am too insignificant to you'.
terjemahan:
Ketika Hafsah mendapatkan dia (Muhammad) bersama Mariyah [dalam keadaan lagi bersetubuh], Hafsah berkata: ‘Mengapa kau membawanya masuk ke dalam rumahku? Kau melakukan ini padaku, dan tidak pada istri2mu yang lain, hanya karena aku terlalu hina bagimu.’
Karena takut membuat marah istri²ny yang lain, terutama istri kesayangannya yakni Aisyah, Nabi bersumpah pada Hafsa untuk tidak akan pernah menyentuh Maria lagi, asalkan Hafsa tidak menceritakan hal yang memalukan ini kepada istri² Nabi lainnya.
Tapi Hafsa ternyata menyampaikan hal ini pada Aisyah. Ketika Nabi mengetahui akan hal ini, dia marah sekali dan menyatakan wahyu illahi pembatalan sumpah tidak menyentuh Maria lagi di Qur’an, Sura 66, ayat 3.
Aisyah menjabarkan nafsu berahi Muhammad yang berkobar-kobar terhadap Maria sebagai berikut:
“Aku tidak pernah merasa begitu cemburu seperti kepada Maria. Hal ini karena dia adalah wanita berambut ikal yang sangat cantik jelita. Nabi sangat tertarik kepadanya. Pada mulanya, Maria tinggal dekat kami dan Nabi menghabiskan waktu siang dan malam bersamanya sampai kami protes dan Maria jadi ketakutan.”
(ref. Ibn Sa’d, al-Tabaqat, hal. 212).
Nabi lalu memindahkan tempat tinggal Maria ke tempat yang lebih nyaman dan jauh dari tempat tinggal para istri² sahnya dan terus menyetubuhi Maria meskipun para istrinya protes.
Maria lalu hamil dan melahirkan bayi lelaki dan Muhammad memberinya nama Ibrahim. Ketika Aisyah melihat bayi itu, dia mengatakan pada Nabi bahwa bayi itu tidak mirip dirinya. Nabi lalu mendengar desas-desus bahwa Maria dihamili pemuda yang membawa Maria dari Mesir. Muhammad marah sekali dan menyuruh Ali memancung pemuda tersebut. Hadis Sahih Muslim nomer 4975 mengisahkan bahwa Ali melihat bukti bahwa pria ini ternyata pria kebiri (eunuch atau kasim) dan Ali tidak jadi membunuhnya. Di kasus lain di mana Aisyah dituduh berhubungan sex dengan pemuda Muslim bernama Safwan bin Mu’atal, Muhammad tidak menerapkan perintah yang sama untuk memancung Safwan.
Safiya bint Huyayy
Safiya bint Huyayy adalah anak dari ‘Huyayy bin Akhtab (ketua suku Yahudi An-Nadir) yang bersama sukunya mengungsi ke kota Yahudi Khaybar setelah Muhammad mengusir seluruh suku An Nadir di Medinah. Muhammad memancung ‘Huyayy bin Akhtab dan 900 Yahudi Quraish di Medina. Beberapa tahun kemudian, Muhammad menyerang Khaybar dan membunuh suami, paman, dan sanak saudara laki Safiya. Suami Safiya adalah ketua suku Yahudi Khaybar yang bernama Kinanah bin al-Rabi dan mereka berdua adalah pengantin baru. Muhammad menyiksa Kinanah sampai mati dalam rangka mengorek keterangan di mana Kinana menyimpan harta karun masyarakat Yahudi Khaybar.
Awalnya, Safiya diberikan sebagai budak/tawanan wanita untuk Muslim bernama Dahya al-Kalib. Ketika sang Nabi mengetahui bahwa Safiya sangat cantik jelita, masih remaja, ningrat keturunan ketua suku Yahudi, dia lalu mengambil Safiya dari tangan Dahya. Dahya protes, dan Nabi lalu memberinya pengganti dua saudara sepupu wanita Safiya. Muhammad lalu meniduri Safiya di hari yang sama dia membunuh suami baru Safiya . Di malam harinya, saat Muhammad dan Safiya berada di dalam satu tenda, seorang Muslim bernama Abu Ayyub menjaga kemah Nabi sepanjang malam. Ketika bangun di pagi hari, Nabi bertanya pada Abu Ayyub mengapa dia berjaga-jaga sepanjang malam di kemahnya. Abu Ayyub berkata, “Wahai Rasul Allâh, Safiya baru saja jadi pengantin baru, dan kau membunuh ayahnya, saudara lakinya, dan suaminya. Karena itu aku khawatir ketika kau berada bersamanya.” Rasul Allâh tertawa dan berkata, “Semuanya berlangsung dengan baik.”
Kisah Safiya tercantum secara detail di al-Sira al-Halabiyah, Sira dari Ibn Hisyam, dan Tabaqat dari Ibn Sa’d. Sumber literatur Islam menyatakan Muhammad menikahi Safiya dan Safiya memeluk Islam. Dengan begitu, Safiya termasuk diantara “para Ibu umat Muslim.”
Fatima Mernissi beranggapan bahwa pernikahan Muhammad dengan Zainab merupakan pernikahan yang memalukan karena Zainab adalah istri Zaid, anak angkat Muhammad. Dengan begitu, Zainab adalah menantu Muhammad. Semuanya ini berawal ketika Muhammad mengunjungi rumah Zaid. Saat itu Zaid sedang keluar dari rumah.
Menurut sebagian Sira (buku² biografi Nabi), Allâh mengirim angin yang meniup tabir pintu kamar dan Muhammad melihat Zainab berbaring di ranjangnya dalam keadaan hampir telanjang. Sira mengisahkan bahwa Zainab adalah wanita cantik jelita dengan tubuh yang menggairahkan. Ketika Zaid mendengar hal ini dari Zainab, Zaid menawarkan pada Muhammad bahwa dia bersedia menceraikan Zainab, tapi Muhammad khawatir orang² akan mencelanya sehingga dia menasehati Zaid untuk tetap menjaga keutuhan pernikahannya.
Pada saat itu, Allâh menyampaikan Qur’an 33:36-40 yang mencela Muhammad karena berkata pada Zaid, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” dan menyembunyikan isi hatinya “yang akan diungkapkan oleh Allâh.” Allâh berkata pada Muhammad, “Kau takut akan orang², tapi seharusnya kau takut akan Allâh.” Allâh lalu menyatakan rencananya di masa kini dan masa depan pada Muhammad, “Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
Allâh juga tak lupa mengingatkan umat Muslim bahwa “tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Berdasarkan pernikahan Muhammad dan Zainab, maka telah jadi ketetapan bahwa jika Muhammad melihat seorang wanita dan dia tertarik pada wanita itu, maka sudah jadi kewajiban suaminya untuk menceraikannya agar Muhammad bisa menikahinya. Terlebih lagi, Qur’an 33:50 menyatakan bahwa Nabi memiliki ijin khusus untuk menikahi wanita mana pun yang menawarkan dirinya kepada Nabi. Tatkala semua Muslim hanya boleh menikahi empat wanita dalam satu saat, Muhammad mendapat perkecualian boleh menikahi wanita tanpa batasan jumlah apapun. Karena itulah dia memiliki istri sampai enambelas orang dan dua budak sex (Maria dan Rayhana). Muhammad meminta Zaid untuk mengajukan lamaran nikah dari Muhammad pada Zainab. Pernikahan Muhammad dan Zainab dirayakan dengan meriah.
(Adadeh (klik): menurut Tabari, istri Muhammad berjumlah 21 orang + 2 budak sex
Berikut adalah keterangan dari Tabari tentang skandal sex Muhammad dan Zainab:)
Silakan baca perdebatan tentang komik Muhammad dan Zainab di SINI.